Cowok dengan tinggi 180 sentimeter itu mengerang sambil menyugar rambutnya, terhitung sudah hampir dua puluh kali ia melakukannya. Dion benar-benar dibuat pusing.
Remaja yang masih menjabat sebagai wakil ketua klub kimia itu terdiam selama beberapa saat. Gambaran kehancuran memenuhi otaknya saat ini. Distro miliknya terbakar.
Usaha yang sudah ia rintis sejak kelas sepuluh itu ludes dilalap api. Pasti ada unsur kesengajaan, pikirnya. Tadi pagi, ia mendapat telepon dari orang kepercayaannya, Shielda.
Gadis yang lebih tua setahun dari Dion itu sangat panik hingga yang ia ucapkan tak terdengar jelas, ditambah teriakan dari warga sekitar membuat wanita itu semakin linglung.
Tak butuh waktu lama, Dion segera tancap gas dari rumahnya. Ia sudah tak peduli lagi dengan teriakan Tama dan kalimat-kalimat kasar Carroline yang menggema memenuhi seisi rumah.
Sayangnya, semesta tak berpihak padanya hari ini. Kota tempatnya tinggal sedang macet, bahkan di hari libur dan di jam yang sepagi ini. Sampai di sana, api besar itu belum juga padam.
Dion menyaksikan sendiri bagaimana tempat usaha yang tidak seberapa itu rubuh secara perlahan. Habis, tidak ada yang tersisa dari bangunan itu.
Shielda merangkulnya dari samping. Gadis yang sudah dia anggap sebagai saudari itu menyemangatinya. Mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, tak akan bisa semudah itu.
Petugas menemukan tiga buah jerigen di belakang distro, juga sebuah pemantik api dengan ukiran aneh di salah satu sisinya. Sudah pasti ada yang sengaja.
Setelah pamit dengan Shielda, ia memutuskan pergi. Rumah Rafael adalah tujuannya sekarang. Sungguh otaknya tak sanggup memikirkan masalah ini.
Distro itu sudah ia anggap sebagai rumah keduanya. Dion bahkan lebih sering menghabiskan waktu di tempat itu ketimbang di hunian megah milik Tama, papanya.
Susah payah ia membangun usaha itu. Berbekal uang tabungannya, Dion mulai merintis usaha, Rafael saksinya. Cowok itu tak mau dibantu dengan uang, hanya dukungan yang ia butuhkan, hingga Shielda datang dan bersedia menjaga tempat itu.
Rumah Rafael sudah dekat, tapi ia mendadak memutar arah. Dion tak mau mengganggu sahabatnya sepagi ini, lebih baik ia memikirkannya sendiri.
Rumah pohon yang menyimpan banyak kenangan dengan mediang ibunda adalah tempatnya kini. Matahari sudah tinggi, tapi pemuda bermata coklat itu sama sekali tak berniat untuk pergi.
Hanya satu nama yang terlintas, Reynand. Dion mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ingin sekali ia memberikan beberapa pukulan keras tepat di wajah musuhnya itu.
Laki-laki berkulit eksotis itu sudah berhasil merebut Anya, dan sekarang berani merusak rumah kedua milik Dion? Pemuda itu tak akan tinggal diam."Yon! Lo di mana?! Katanya mau mabar."
Suara khas Panto langsung terdengar begitu Dion memutar pesan suara di ponselnya. Jangankan game, Dion bahkan lupa untuk makan siang.
Benda pipih miliknya kembali bergetar, kali ini tertera nama Abam.
"Apa?"
"Apanya yang apa?! Lo di mana, sih?! Kalo mau bunuh diri jangan tiba-tiba, dong!" Semprot sebuah suara dari seberang sana.
"Rumah pohon. Buruan." Setelah mengucapkan kalimat singkat itu Dion berbaring, tak peduli pakaiannya kotor sekalipun. Tulang punggungnya butuh istirahat setelah hampir enam jam duduk berpikir.
Butuh waktu dua puluh menit bagi ketiga temannya untuk sampai di tempat itu. Mereka langsung masuk dan menubruk tubuh atletis Dion. Untung saja pemuda itu tidak terkena serangan jantung.
"Emang mau kena bogem si Reynand!" ujar Panto berapi-api setelah mendengar cerita runtut dari temannya.
"Padahal kita udah gak pernah ganggu hubungannya sama Anya lagi," Rafael ikut berkomentar.
Abam terkekeh. "Mereka udah pisah."
"Kata siapa?"
"Kayla, cewek rambut pirang yang waktu itu," jawab Abam santai.
"Mereka udah gak bareng lagi? Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...