Semua orang menoleh pada Abam.
"Reynand?"
Cowok rapi itu mengeluarkan ponselnya lalu membuka galeri, kemudian ia menunjukkan satu foto. Sebuah pemantik api dengan ukiran aneh.
"Barang bukti waktu itu."
"Ukiran apa tuh?" Gita meraih ponsel hitam itu, berniat melihat fotonya lebih dekat. "Huruf R?"
Panto memukul meja. "Pasti si Reynand!"
"Nggak bisa nuduh gitu aja, dong," ujar Anya
"Lo belain dia?"
Gadis itu tersentak oleh pernyataan cowok di depannya, Rafael. "Bu-bukan gitu, tapi kita harus cari bukti."
Abam bersidekap. "Masih suka sama dia?"
"Aku nggak pernah suka sama dia ...." kayaknya lanjut Anya dalam hati.
"Terus kalau bukan Reynand siapa?" tanya Dion pada gadis itu, "gak mungkin Rafael, 'kan?"
"Ayo kita cari bukti!" kata Panto bersemangat
"Kita?"
"Iya, lo gak mau kerjasama sama gue?"
Gita menaikkan bahu. "Ogah."
Kedua remaja itu kembali berdebat, sudah seperti kucing dan anjing. Tak pernah bisa berdamai barang semenit. Sementara Rafael hanya menatap sendu pada Gita, andai cowok itu bisa bertukar posisi dengan Panto.
Bel pelajaran berbunyi, satu persatu murid mulai meninggalkan kantin. Sedangkan keempat remaja itu masih sibuk menyimak perkelahian teman mereka.
Abam menginterupsi. "Udah bel dan kita masih belum nentuin langkah selanjutnya."
"Kita ikutin Reynand." putus Dion. Sejurus kemudian pemuda itu bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi ke kelas.
Selama di kelas pandangan Dion dan ketiga temannya tak pernah lepas dari sosok Reynand. Entah pemuda itu menyadari ada yang memperhatikannya atau tidak, Dion, Rafael, Abam, dan Panto tidak peduli.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Abam dan Panto sudah siap dengan tugas mereka. Kedua remaja itu bergegas menuju parkiran, melajukan motornya untuk mengikuti Reynand. Kemudian mereka akan segera mengabari lokasi terkahir di mana Reynand terlihat.
Sedangkan di tempat lain dua orang gadis sedang didesak oleh seniornya. Anya dan Gita baru saja menyelesaikan kelas, guru mata pelajaran terakhir bahkan baru keluar satu menit yang lalu, tetapi mereka sudah disusul seperti ini.
"Buruan, Git." Rafael ikut memasukkan beberapa barang Gita ke dalam tas milik gadis itu. "Yon, lo bantuin Anya juga, dong!"
Dion yang duduk tenang dengan kepala terlungkup di meja depan merasa terpanggil. "Dia bisa sendiri."
Anya menggeram sinis sebagai respon.
"Nah! Sekarang kita pergi ke lokasi yang dikirimin sama Abam," ujar Rafael
Mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Dion dan Rafael di depan, sedangkan Anya dan Gita di belakang.
"Di mana lokasinya?" tanya gadis berambut sebahu itu.
"Pusat perbelanjaan." jawab Rafael sekenanya.
Saat tiba di parkiran, Dion menatap Gita. "Lo sama gue."
Yang ditatap hanya bisa mengangguk patuh, lagi pula ia malas jika harus dibonceng oleh Rafael. Mau tak mau Anya menerima dengan pasrah jika ia harus duduk di belakang Rafael.
-o0o-
Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Dion dan temannya --Rafael-- untuk bisa sampai ke tujuan. Jelas saja, mereka jagonya di jalanan.
"Mana orangnya?" tanya Rafael saat menjumpai Abam dan Panto di area parkir mall.
Panto menunjuk dengan dagunya. "Di dalam."
Gita dibuat kesal. "Kok gak diikutin, sih?!"
"Lah? Emangnya harus diikutin sampe dalem, Yon?"
Yang ditanya hanya mengangguk, ekspresinya datar, kendati sorot matanya menampakkan amarah.
Abam mengunyah pentol telurnya. "Tuh 'kan. Gue bilang juga apa," ujarnya santai.
"Buruan kalau gitu!"
Anya melangkah lebih dulu, tetapi tangannya ditarik paksa oleh seseorang secara mendadak. Ia memekik kaget sembari menutup mata.
Sekarang kepala gadis itu membentur sesuatu yang keras, tetapi berirama lembut. Anya belum berani membuka matanya, ia masih berusaha menebak benda apa yang menempel dengan kepalanya. Mungkinkah dinding?
"Hampir aja keserempet."
Suara Rafael memecah keheningan.
Perlahan gadis itu membuka matanya, tak lama kemudian Anya mundur satu langkah. Jadi, yang tadi menariknya itu bukan Rafael? Tetapi Dion? Dan ia berakhir dengan menubruk dada kokoh pemuda itu?
"Makanya, kalau jalan tuh liat kanan kiri!" Gita meraih tangan sahabatnya seperti seorang ibu pada anaknya. "Ngapain diam? Ntar si Reynand keburu pergi!" ujarnya sedikit berteriak saat menemukan Dion dan ketiga temannya masih membatu di belakang.
Rafael, Abam, dan Panto hanya merasa bingung. "Katanya gak suka, kok sampai meluk?" pikir mereka dalam hati.
Baru saja melewati pintu masuk, keenam remaja itu sudah dibuat terkejut. Mereka kompak membuang muka atau melakukan sesuatu sebagai pengalihan.
Di sana, Reynand berdiri dengan bosan, seperti sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Jadi, sedari tadi cowok itu hanya menunggu? Kasihan sekali.
"Daritadi dia berdiri di situ? Nungguin siapa?" tanya Panto mungkin pada angin.
Gita mendecak. "Tanya ke orangnya aja langsung."
Keenam remaja itu kembali dibuat kaget. Seorang gadis menghampiri Reynand di sana, keduanya tampak akrab dan sesekali tertawa.
Sorot mata Anya meredup selama beberapa saat. Ia kira satu-satunya, ternyata hanya salah satunya.
Reynand dan gadis itu beranjak pergi menuju toko perhiasan, begitu pula dengan Dion dan yang lainnya.
Lima belas menit menunggu, masih tidak ada tanda-tanda dari cowok berkulit eksotis itu untuk keluar.
"Bosen!" keluh Panto
"Tuh, keluar!"
Reynand dan gadis itu keluar dan berbincang ringan. Sesekali Reynand mencubit pipi orang di depannya dengan gemas.
Gadis itu merengek manja. "Anterin aku."
"Kamu pulang duluan aja, aku masih ada urusan," jawab Reynand lembut.
"Dasar, Tuan sibuk!"
Cowok itu terkekeh. "Kamu pulang, terus siap-siap buat nanti malam. Aku mau beresin tempatnya."
"Di mana?"
"Di mana, ya ...." Reynand tampak berpikir. "Tenang aja, ulang tahunmu pasti berkesan."
Bibir gadis itu mengerucut kesal. Berikutnya Reynand dan gadis itu berpisah di pintu keluar mall.
Reynand berhenti di parkiran lalu menunduk, mengikat tali sepatunya. Anya terkekeh, ada-ada saja pemuda itu.
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Gita berniat pamit pada sahabat dan senior-seniornya.
"Gue gak bisa lanjut," ucap Gita menatap sahabatnya, "gue harus pulang."
Dion terdiam sebentar. "Lo gak boleh pulang sendirian."
"Nih." Abam mendorong Panto ke depan. "biar nih anak yang anterin."
"Emangnya gue mau?" tanya cowok berambut ikal itu.
"Gue juga gak mau dianter sama lo!"
"Buruan!" perintah Dion mutlak.
Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain selain menurut.
Anya berdehem. "Kita kehilangan jejak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...