Anya berdehem. "Kita kehilangan jejak."
"Pasti belum jauh, mencar!"
Gita dan Panto sudah pergi lebih dulu, tinggallah Dion, Abam, Rafael, dan Anya.
"Bam, ikut gue!" ucap Dion tegas
Satu-satunya gadis di kelompok ini mengembuskan napasnya berat. Lagi-lagi ia terjebak bersama Rafael.
"Ayok cari Reynand!" Pemuda itu meraih jemarinya untuk digenggam. Anya membisu, kalau begini ceritanya, gadis itu bisa gagal move on.
Gadis cantik itu menunjuk ke salah satu pintu keluar. "Di sana!"
"Pintar!" Puji Rafael lalu berlari mengambil motornya.
Tak sampai lima menit pemuda itu sudah sampai di depan Anya. "Kirim lokasi ke Dion," titahnya.
"Aku nggak punya nomor kak Dion."
"Pake hp gue." Rafael mengotak-atik ponselnya sebentar kemudian memberikannya pada gadis itu. Setelahnya ia mulai membelah jalanan dan menyalip beberapa kendaraan.
Di tempatnya Anya mengernyit sambil menatap room chat si pemilik ponsel dengan Dion, mengapa namanya disebut-sebut?
-o0o-Kini, sekelompok remaja itu telah berada di tanah lapang yang tak jauh dari gudang tua. Dua ratus meter dari sini, terdapat pemukiman, ada warung juga di sana.
Gudang tua yang menjadi tujuan Reynand terletak cukup jauh dari keramaian, pemuda itu tersenyum miring sesaat sebelum melewati pintu utama gudang.
Sudah pukul tujuh malam, tapi sepertinya Reynand masih betah berlama-lama di tempat seperti itu.
"Kabarin gue kalau ada apa-apa!" Dion beranjak dari sana, ia berjalan cepat menuju motornya.
"Kak Dion mau ke mana?" tanya Anya dengan suara bergetar.
Sungguh, gadis itu merasa takut sekarang, meskipun ada Rafael dan Abam di sisinya. Jika tau akan seperti ini, lebih baik Anya ikut pulang saja bersama Gita tadi sore.
"Palingan juga pulang ke rumah," jawab Abam asal.
Anya memeluk dirinya sendiri. "Harusnya tadi aku ikut pulang aja sama Gita."
"Gak usah manja." Rafael memberikan jaket yang tadi ia kenakan. "Bisa pake sendiri, 'kan?"
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban.
Lima belas menit berlalu, Dion ataupun Reynand sama sama belum menampakkan batang hidungnya.
Semak-semak di dekat mereka mulai bergerak, sosok hitam mengintip dari sana. Ketiga remaja itu memicingkan mata, mereka menatap intens pada sekeliling.
"Yon, jangan bercanda!" ujar Abam memperingati
"Kak Dion nyebelin!"
Tak ada jawaban dari balik semak, Anya dan Abam semakin was-was. Sedangkan Rafael sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.
Pemuda bermata sipit itu menatap Anya. "Kita kejutin bareng-bareng."
Anya mengangguk setuju. Keduanya mulai menghitung bersamaan. "Satu, dua, ti--"
"Eh ada yang cantik, nih!"
Anya membeku sebentar lalu melangkah mundur. Abam sudah siap dengan kuda-kudanya, begitu pula Rafael yang telah menyimpan ponselnya.
Di hadapan mereka, sekitar lima pemuda berwajah garang, tampak seperti preman. Tuhan, apa yang harus mereka lakukan sekarang?
"Berani banget lo masuk kawasan ini!" kata salah satu preman yang memakai jaket dengan lambang telinga serigala.
Pemuda bertubuh sedikit pendek maju. "Hajar aja, Bos."
Orang yang dipanggil 'Bos' itu mengayunkan balok kayu di tangan kanannya. "Habisin!"
Segalanya terjadi begitu cepat. Anya mundur ke belakang, memperhatikan Rafael dan Abam yang melawan dua preman sekaligus. Sesekali gadis itu memekik saat melihat seniornya terkena pukulan.
"Seru, ya?" tanya seseorang di sampingnya
Gadis berpipi tembam itu terkejut. "Jangan deket-deket!"
"Gue orang baik, kok."
"Bohong! Lo bos mereka, pasti lo lebih jahat!"
Benar, yang bertarung dengan Abam dan Rafael hanyalah empat orang, dan pemimpin mereka saat ini sedang berusaha mendekat pada Anya.
"Jangan mendekat gue bilang!" Gadis itu mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan. "Berhenti di situ atau batu ini bakal bocorin kepala lo!"
"Lo yang harusnya berhenti!" Si pemimpin terus mengulurkan tangannya, ia maju selangkah demi selangkah.
Anya semakin gemetar, seseorang di depannya terlalu menakutkan. Sementara kedua seniornya mulai kewalahan. Terlihat Abam yang sudah kehabisan tenaga, begitu pula dengan Rafael.
"Udah gue bilang, jangan terus mundur!"
Anya masih melangkah ke belakang dengan mata yang berfokus pada orang di depannya. Ia berjalan tanpa melihat ke mana kakinya melangkah. Gadis itu tak sadar, bahwa itu adalah pijakan terakhirnya.
"Kalau gue berhenti, lo pasti nangkap gu--" Gadis itu terkejut, ia menutup matanya rapat.
"Anyaaa!"
Parit yang dalam sedang menunggunya, lubang itu menganga lebar seolah bersiap untuk menyantap makanan lezat. Namun, tangannya diraih oleh seseorang --ditarik menjauh dari parit.
"Pasti. Pasti gue tangkap." ungkap sebuah suara yang tidak dikenalnya.
Telinga gadis itu dapat mendengar suara degupan, Anya menduga ia sedang berada dalam dekapan orang asing yang berniat baik. "Gue mohon jangan lagi." lirihnya tanpa membuka mata.
Cukup sekali ia berada dalam dekapan, Anya mohon, cukup sekali saja.
Nyatanya tidak. Hari ini sudah dua kali ia mendengar irama jantung orang lain. Yang ini sangat kencang, seseorang sedang terpacu adrenalinnya.
"Nyaman, ya, gue peluk?" ucap suara itu datar
Gadis itu spontan membuka mata. "Lepasin!"
Pemuda itu melonggarkan tangannya.
Anya langsung berlari menuju Rafael dan Abam yang terduduk lemah. Tak jauh dari sana, empat pemuda menatapnya dengan senyuman miring --lima pemuda jika ditambah dengan pemimpin mereka.Apa lagi yang akan dilakukan preman-preman ini? Gadis itu mulai terisak, ia membayangkan kemungkinan paling buruk yang akan ia dapatkan.
Sirine polisi terdengar, preman itu menatap satu sama lain, kemudian kompak melirik bos mereka.
"Cabut!"
Anya bersyukur, untung saja polisi-polisi itu segera datang. Di balik gelapnya malam, siluet hitam berlari mendekat.
"Kak Dion!"
Dion mempercepat langkah, kedua temannya sudah hampir pingsan. Dan gadis yang berada di antara mereka sedang mengeluarkan air mata.
"Sorry."
Pemuda itu mematikan suara sirine di ponselnya.
"Dari mana, sih? Aku hampir mati tadi."
Dion diam, ia sibuk menyadarkan kedua temannya. Melihat hal itu, Anya ikut diam dan berhenti bertanya. Setengah jam yang melelahkan.
Ponsel gadis itu berdering, tertera 'Ibu' di sana.
"Wa'alaikumsalam. Anya nggak kenapa-kenapa, Bu."
Gadis itu berdehem. "Iya, masih sama kak Dion," Anya melirik Dion sekilas. "Sebentar lagi pulang, kok."
Ia mengangguk. "Wa'alaikumsalam."
Sejurus kemudian mata gadis itu kembali membola. "Penjahatnya balik lagi."
Tetapi Dion tak juga menolehkan kepalanya. "Gak mungkin."
Berikutnya hanya ayunan balok kayu yang dilihat Anya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Novela Juvenil#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...