second step

84 7 1
                                    

Raut Anya berubah pasi, Dion marah.

"Tadi siang aku kenalan sama kak Reynand."

Gadis itu bergetar, ketakutan akan seseorang di depannya benar-benar membuatnya hampir pingsan.

"Lo gak boleh dekat ataupun berurusan sama dia!"

Dion beranjak dari sana, ia tak peduli pada gadis yang tadi ia teriaki. Langkah lebar menuntunnya hingga ke kamar. Pemuda itu menutup pintu dengan sangat keras seolah pintu itu akan segera terlepas dari tempatnya.

Malam yang tenang berubah menjadi mencekam bagi gadis berkacamata kotak itu. Matanya sudah meluruhkan butiran bening sedari tadi, ia bahkan tak tau pasti mengapa dirinya bisa menangis seperti ini.

Anya membereskan piring dan beberapa wadah di atas meja, membawanya ke dapur lalu mencucinya.

"Sorry," kata Dion yang tiba-tiba muncul di dapur.

Anya diam tak menjawab, gadis itu sedang sibuk menahan air matanya. Ia tak boleh terlihat lemah, tidak di depan Dion.

"Lo bener-bener gak boleh dekat sama Reynand. Dia gak sebaik yang lo pikir." Setelah mengucapkan dua kalimat itu, Dion beranjak dari tempatnya.

Pernyataan yang aneh dan tidak masuk akal. Anya mengangkat bahunya acuh, masa bodoh, pikirnya.

-o0o-

"Hai, Gita," sapa Rafael riang, "kebetulan banget kita ketemu di kantin, jangan-jangan kita jodoh."

Gadis tomboi itu merotasikan bola matanya jengah, sementara pemuda di depannya terkekeh, ekspresi yang menggemaskan bagi Rafael.

"Lo potong rambut, ya?" tanya cowok itu sembari menatap Anya yang berdiri di samping Gita.

Ia mengangguk. "Iya, Kak. Gimana?"

"Bagus. Lo keliatan lebih fresh." Rafael mengacungkan dua ibu jarinya di hadapan Anya. Membuat gadis itu tersenyum malu-malu.

Gita menarik paksa sahabatnya, ia sudah terlalu muak dengan Rafael yang sok asik. Batinnya menggeram sambil sesekali mengumpati pemuda itu.

"Btw, pulang sekolah nanti mau beli skincare, nggak? Sayang, 'kan kalau gak dirawat," tawar Gita saat di lorong.

"Memangnya apa aja yang perlu dibeli?"

Gita mengetukkan jarinya di dagu. "Gak banyak sih, lo catat, ya."

Anya mengangguk sembari mengeluarkan ponsel dari sakunya. Gita mulai menyebutkan beberapa produk perawatan lengkap dengan harganya.

"Udah. Sedikit aja, 'kan?"

Anya ternganga saat melihat daftar di yang baru saja selesai ia ketik. "Banyak banget," ringisnya

"Itu udah yang lengkap semua."

Gadis itu akan menjawab ucapan sahabatnya ketika sebuah suara menginterupsi.

"Anya potong rambut?"

Keduanya terlonjak kaget, seorang pemuda tiba-tiba saja berada di belakang mereka. Rahang cowok itu tegas, tubuhnya tegap layaknya pangeran.

"Kak Rey ngagetin, ya?" pemuda itu menggaruk tengkuknya lalu terkekeh. "Maaf, ya. Ngomong-ngomong, Anya makin cantik habis potong rambut gitu."

"Anya gak percaya, kak Rey pasti bohong."

"Kak Rey serius, Anya," pemuda itu mengusap pucuk kepala Anya lembut. "Anya beneran cantik."

Gadis berkacamata kotak itu tersenyum, ia mengucapkan terima kasih lalu pamit pada Reynand.

"Kalau sama kak Reynand gue restuin," ujar Gita

"Maksudnya?"

"Maksud gue, kalau lo mau pacaran, mending sama kak Reynand. Gak usah sama kak Dion apalagi si Rafael," jelas gadis kuncir kuda itu

"Apaan sih? Gue itu sukanya sama kak Rafael." tegas Anya

Gita mendelik, tak menjawab. Keduanya kembali berjalan tanpa adanya perbincangan, begitu tenang.

Sepasang mata tengah menatap mereka dalam, intens, dan lekat. Alis rapi itu menukik, menggambarkan raut tak bersahabat pada sesuatu, atau seseorang.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, tempat itu pun perlahan-lahan mulai sepi. Seperti biasa, Anya akan menunggu Dion di parkiran.

Dion datang dengan tangan terkepal, langkah lebarnya semakin menjadi, napasnya juga memburu menahan amarah. Tak pernah ia seperti ini, karena memang pernah ada yang berani menentang ucapannya.

Gadis berambut sebahu itu tak berani bertanya, lebih baik ia diam dan menunggu pemuda itu menjelaskan sendiri.

Dion menatap cewek di depannya tajam. "Udah gue bilang, jangan berurusan sama Reynand!"

"Maksud--"

"Lo pikir gue gak liat pas di kantin tadi?! Lo harus hati-hati sama orang kayak dia!"

"Tapi--"

"Gak usah bantah!" pemuda itu berjalan menuju motornya

"Kak Dion kenapa, sih? Emangnya Kakak siapa bisa ngatur-ngatur aku?"

Pemuda itu mendengus. "Lo gak kenal Reynand sepenuhnya." ia menjeda ucapannya. "Jadi, JANGAN SOK TAU SAMA KEHIDUPAN ORANG LAIN! CUKUP JAUHIN LARANGAN GUE!" katanya penuh penekanan. Dengan sorot tajam menusuk itu, siapa pun pasti akan ciut.

"Paham?" tanya Dion dingin

Anya mengangguk pelan, gadis itu hanya bisa menahan air mata, lagi-lagi ia dibentak seperti ini.

"Paham, gak?!"

"Paham." cicitnya

Dion kembali meraup oksigen rakus, berbicara dengan intonasi tinggi membuatnya kehabisan pasokan udara. Wajahnya mulai mengendur, ia sudah kembali tenang.

Pemuda itu memerintahkan Anya untuk naik ke atas motor, setelahnya ia melaju di jalanan kota sore itu. Gadis itu tahu, ini bukan jalan menuju ke rumah, tapi ia terlalu takut untuk bertanya.

Anya bergumam pelan. "Watsons?"

Dion berjalan lebih dulu, matanya yang dalam menatap tajam pada sekeliling. Sementara, gadis berkacamata kotak itu berusaha mengimbangi langkah lebar cowok di depannya.

"Pilih yang lo butuhin."

"Aku nggak punya uang, Kak," katanya lirih

Jangan banyak omong."

Anya mengangguk pelan, bersama satu karyawan, gadis itu mulai memilih. Matanya berbinar senang, tetapi meredup seketika kala melihat harga produk-produk itu.

Ia menoleh dan mendapati Dion di sana. Tepat di belakangnya, mengikutinya berkeliling sedari tadi. Netra pemuda itu seolah berkata. "Gak usah protes."

Segan, takut, dan ragu. Gadis itu membawa benda-benda tadi ke kasir. Dion maju ke depan, mengeluarkan satu kartu lalu menyerahkannya pada karyawan.

Pemuda itu mengambil semua belanjaan kemudian membawanya pergi. Anya mengikutinya dari belakang. Cowok aneh, pikirnya.

"Sorry karena udah ngebentak lo." pemuda itu mengangsurkan paper bag berisi skincare kepada Anya.

Gadis itu mengernyit bingung, tak paham dengan jalan pikiran pemuda di depannya.

"Tadi gue gak sengaja dengar obrolan lo." Dion menunjuk benda dalam genggaman Anya. "Itu sebagai permintaan maaf gue."

Anya diam, berusaha mencerna ucapan cowok itu barusan. Namun, tetap saja ia tak mengerti. Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

Setelahnya mereka pulang. Jalanan kota di sore hari lumayan padat. Dan di sini, tepat di persimpangan jalan ini, ketika lampu berwarna merah Dion mengatakan sesuatu.

"Tadi Rafael nanyain lo."

Satu hal yang membuat hari ini menjadi lebih baik, membuat pipinya merona, dan senyumnya terbit di balik kaca helm. Anya akan selalu mengingat saat ini.

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang