"Tadi Rafael nanyain lo."
Semua kata yang berlompatan keluar dari mulut Dion tadi sore membuat gadis itu terus tersenyum. Rafael bertanya tentang dirinya? Ya ampun, pipinya sangat panas sekarang. Hari Jumat yang sempurna.
"Gila," seloroh Dion saat mendapati Anya tersenyum sendiri di halaman belakang.
"Enak aja," sanggah gadis itu
Dion hanya menoleh acuh.
"Besok sore jogging lagi? Kakiku udah nggak keram."
Pemuda bermata dalam itu mengangguk sebagai jawaban.
Semalaman Dion menghabiskan waktunya untuk memikirkan kemajuan usahanya --distro hasil kerja kerasnya sendiri.
Bagaimana tempat itu bisa berkembang? Pertanyaan yang hanya bisa dijawab olehnya sendiri. Namun, kali ini otaknya terlalu penuh. Tak ada jawaban yang terlintas di benaknya.
Pukul sebelas malam, ia memutuskan pergi ke dapur untuk membuat susu hangat. Berikutnya Dion berjalan pelan menuju televisi, mungkin sedikit hiburan bisa membantu otaknya. Namun, niatnya harus diurungkan kala mendapati gadis berkacamata kotak sedang tertidur di sofa.
Anya dan Ratih --ibunya-- memang diizinkan untuk menggunakan beberapa fasilitas di rumah ini. Tama begitu baik pada karyawannya, tetapi tidak pada putranya sendiri.
"Bodoh." Pemuda itu berjongkok guna menyamakan tingginya dengan Anya.
Tangannya terulur, ia mengambil kacamata yang masih bertengger di hidung gadis itu, lalu meletakkannya di atas meja.
"Kenapa pakai kacamata sambil tidur?" tanyanya yang jelas tak akan mendapat jawaban.
Ia terkekeh sendiri. Kali ini Dion benar-benar terhibur karena gadis di depannya, tetapi tak berlangsung lama.
Raut wajahnya kembali datar, tak pernah ada seorang pun yang bisa membuatnya kembali terkekeh setelah kepergian ibunya. Begitu pula dengan Anya, gadis itu tidak akan bisa.
Dion memperingatkan dirinya untuk melarang gadis itu menyelinap masuk terlalu jauh ke dalam hidupnya. Tidak boleh.
Pemuda itu berbalik dengan penuh keyakinan. Hanya ada satu orang, satu wanita yang ia cintai, dan itu adalah ibunya. Tak 'kan ada gadis lain.
-o0o-
Sabtu sore yang berangin. Sejuk dan damai. Dion berjalan pelan, matanya tertutup menikmati sapuan halus di wajahnya.
Sejak tadi malam, Dion bertekad untuk tak terlalu ikut campur pada urusan gadis di belakangnya. Ia akan kembali bersikap acuh.
Di tempatnya Anya menukikkan alis. Raut wajah pemuda itu berubah --berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Ia seperti melihat Dion saat pertama kali bertemu.
"Kak Di--" Gadis itu mengatupkan bibirnya kembali.
Ia mengurungkan niat. Sebenarnya gadis itu juga tak perlu bertanya tentang hal yang bukan urusannya, hanya saja Anya penasaran.
Trotoar jalan menjadi saksi atas perubahan sikap Dion dan kebingungan Anya. Suara sepatu yang bergesekan dengan aspal sayup-sayup terdengar membuat suasana semakin canggung.
Gadis berambut sebahu itu melangkah lunglai, beberapa kali ia ditegur karena terlalu dekat dengan jalan raya.
Sebuah motor dengan dua orang berboncengan melesat dari belakang, menyerempet dan mendorongnya hingga terjatuh. Tentu ini adalah kesengajaan.
Tepat di belokan itu mereka berhenti, menoleh sekilas pada Anya. Lalu salah satu dari mereka memukul yang lain. Mereka bertengkar dengan suara nyaring.
"Salah target, gob--"
"Biarin. Emang gak kena cowoknya, tapi ceweknya luka, noh."
Perdebatan itu terdengar jelas oleh Dion. Ia mengernyit heran, sesaat setelahnya ia terkejut dan menoleh ke belakang dengan cepat.
Anya terduduk sambil memegangi lengan bagian atasnya, wajah putihnya sudah basah oleh air mata. Lukanya terlalu parah untuk sebuah senggolan dari motor.
Bukan lecet ataupun memar. Ini benar-benar luka sayatan, sayatan yang mengeluarkan banyak darah.
"Benda tajam, tapi ap--" Pemuda itu membulatkan matanya. "Pisau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...