Perubahan besar semakin terlihat di sini. Setelah setengah tahun berjuang, akhirnya gadis itu mendapatkan apa yang menjadi tujuannya.
Kulitnya bersinar, rambut berkilau, ditambah senyum ceria membuatnya semakin cantik. Anya sudah tak lagi menggunakan kawat gigi, ia juga mengganti bingkai kacamata dengan bingkai tipis. Gadis itu nampak imut dan menggemaskan.
Dion? Oh, pemuda itu sedikit sibuk, belajar untuk ujian akhir. Ia juga mengalami perubahan, ia mempunyai banyak teman. Namun, hanya tiga orang yang mengerti dirinya, Rafael --Dion tak akan melupakan yang satu ini --, Panto, dan Abam.
"Git, please ... kasih gue kesempatan."
Gita tak mengindahkan kalimat Rafael barusan, gadis kuncir satu itu tetap berjalan menuju kelas. Mengabaikan tatapan sinis dari orang-orang yang dilaluinya.
Rafael menahan Gita di depan pintu, mata hazelnya menatap lekat hingga terasa menusuk bagi lawan tatapnya. Pemuda itu sangat ingin menyampaikan betapa seriusnya ia dengan Gita.
"Gue serius." Cowok berlesung pipi itu memeluk Gita erat. "Gue bener-bener serius. Kasih satu kesempatan untuk buktiin ucapanku ke kamu," ujarnya dengan tubuh bergetar, ia bahkan secara tidak sadar mengganti panggilannya.
Gadis berkulit kuning langsat itu merasakan bahunya basah, Rafael menangis? Tolong, jangan. Ini membuat Gita menjadi lemah, pertahanannya akan segera runtuh.
Tatapannya berubah sayu, benarkah Rafael bersungguh-sungguh dengan kalimatnya? Gita tak tahu, yang ia lakukan sekarang hanya mengusap punggung lebar di depannya.
Otaknya berpikir keras. Hanya ada dua pilihan --mendorong Rafael dan mengatakan kalimat penolakan, atau membalas pelukan pemuda itu dan memberinya kesempatan. Andai saja ada opsi lain.
Anya baru saja sampai di sekolah dan langsung berjalan cepat menembus kerumunan yang dibuat dua sejoli itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat pemandangan seperti ini, hatinya teriris.
Gadis itu mengusap pipinya cepat lalu tersenyum lebar. Dion melihat semuanya, dan pemuda itu tahu, Anya sedang tidak baik-baik saja.
"Anya!" Gita melepaskan pelukan Rafael secara paksa. Benar saja, mata dan hidung pemuda itu memerah setelah menangis.
"Mau liat pr hari ini dong, gue belum ngerjain," ujar gadis kuncir satu itu sembari menarik sahabatnya masuk ke dalam kelas.
Rafael tersenyum nanar. Ia merasa hancur. "Jadi, gak jawaban?" Pemuda itu mundur perlahan. "Oke, kalau lo berubah pikiran, gue ada di taman."
Rafael berbalik, berjalan gontai menembus kerumunan. Kepalanya tertunduk dalam, satu persatu butir air mata jatuh mengenai tanah. Tak pernah ia merasa seperti ini, perasaan yang merepotkan.
Pemuda itu tersenyum sekilas pada teman-temannya lalu kembali menatap ke bawah.
"Sok tegar," kata Abam sarkas, berikutnya Dion dan Panto mengangguk membenarkan.
Anya merasa bersalah. Jika saja ia tak menembus kerumunan, pasti sahabatnya sudah menerima Rafael, pemuda itu tak akan merasa sedih seperti sekarang.
"Kasian kak Rafael, buruan susul dia," kata gadis cantik itu memberi saran.
"Gak! Kalau lo mau, lo aja yang pergi."
Anya berdiri. "Gue ke taman, ya," pamitnya.
Gita tidak bodoh, ia tak akan membiarkan sahabatnya duduk berdua dengan Rafael. Firasatnya tak enak, gadis itu mengikut langkah Anya sampai ke taman sekolah yang cukup sepi.
"Kak Rafael masih suka sama Gita, ya?" tanya gadis berkacamata itu.
"Hm."
"Padahal aku udah susah payah merubah diri demi Kakak." gadis bermata lebar itu menghela napas. "Aku harap kak Rafael berubah pikiran," katanya pelan.
Sesungguhnya Anya tak berniat mengucapkan kalimat itu, ia juga berharap Rafael tak mendengarnya. Hanya sesuatu yang berasal dari hati terdalam.
"Lo gak bisa maksa seseorang. Gue gak pernah suka sama lo!"
"Terus kebaikan Kakak selama ini?"
"Lo terlalu merasa, sampai rela merubah diri demi orang lain. Lagian, gue ngelakuin itu semua buat temen lo, biar dia terkesan." pemuda itu membalikkan badannya, enggan menatap Anya. "Jadi, lebih baik lo pergi dari hadapan gue sekarang."
Anya bangkit dari duduknya, benar-benar akhir yang menyedihkan. Gadis itu pergi menjauh, menyelamatkan hatinya sebelum hancur sepenuhnya.
Seseorang menatap dari kejauhan, senyum miring tergambar jelas di wajahnya. Targetnya sudah hancur, pasti akan lebih mudah untuk melakukan tahap selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...