Pemakaman

330 20 5
                                    

Isak tangis yang teredam gemuruh petir terdengar sore ini. Seorang wanita paruh baya berhati baik telah berpulang. Tak ada lagi nasihat baik yang akan Dion dapatkan ketika gundah.

Cowok dengan tinggi 180 cm itu memang tak menangis. Terlalu lelah dengan dunia yang selalu menyakitinya, seolah tak ada ruang baginya untuk tersenyum.

Para tetangga dan kerabat mulai beranjak meninggalkan pusara yang masih baru itu. Sepasang suami istri nampak acuh pada keadaan Dion sekarang.

Tama --ayah Dion-- terlihat buru-buru sambil sesekali melirik jam tangan mahal di pergelangan tangannya.

Pria setengah baya itu merapikan jasnya. "Papa ada rapat sama pimpinan besar. Gak usah kamu ratapi kepergian nenek tua itu, memang sudah waktunya dia pergi," ucap Tama acuh

Ah ayolah, laki-laki itu baru saja kehilangan ibunya dan ia masih memikirkan rapat perusahaan? Entah terbuat dari apa hatinya.

"Carrol, kamu ikut atau enggak?" tanyanya pada wanita yang tak kalah acuh di sampingnya.

"Ikut, Mas. Aku ada janji sama editor majalah jam tujuh nanti," balas wanita itu.

Carroline, wanita berdarah campuran Indonesia-Jerman itu adalah istri kedua dari Tama. Yap, ibu tirinya Dion. Sikapnya tak jauh berbeda dari suaminya, acuh dan haus akan harta.

Lihat saja gaya busananya, gaun hitam dan payung bertabur berlian dalam genggamannya. Tampak seperti seseorang yang akan melakukan fashion show.

Dion tak beranjak dari tempatnya. Tangannya masih setia mengusap nisan dengan ukiran nama oma-nya itu.

Sungguh, ingin sekali ia berteriak di depan wajah ayahnya sekarang. Tidak bisakah Tama memasang raut sedihnya saat ini?

Carroline mengusap bahu anak tirinya. "Dion mau ikut pulang atau di sini aja?" tanya Carroline lembut.

Dion bergeming. Matanya menyorot tajam pada wanita yang tadi berbicara padanya. "Tidak perlu berbicara selembut itu pada saya," desis Dion

"Gak sopan kamu!" hardik Tama tak terima dengan apa yang cowok itu katakan pada istrinya.

"Mama sama Papa duluan, ya. Hati-hati lho udah mau senja." Carroline terkekeh dengan jokes-nya sendiri.

"Get outta my face!" Dion mengepalkan tangannya untuk meredam emosi.

Pasangan super sibuk itu berlalu meninggalkan dua pemuda --Dion dan Rafael-- yang tampak sangat berduka.

Pemuda bermata hazel itu menepuk punggung sahabatnya pelan. "Udah senja. Mending kita pulang," ajaknya pada Dion.

"Gue mau di sini temani oma."

"Oma pasti ikutan sedih kalau liat lo begini," bujuk Rafael dan berhasil.

Dion bangkit, mengusap sudut matanya yang tergenang lalu berjalan dengan ekspresi datar yang semakin dingin.

Hancur sudah harapan Rafael untuk melihat sahabatnya tersenyum. Sekuat apapun ia berusaha, Dion tetaplah Dion. Cowok dingin dan kaku itu tak akan bisa bersikap hangat dan menebar senyum.

Sore ini, semesta kembali merenggut satu kebahagiaannya. Ah ralat, satu-satunya kebahagiaan yang Dion miliki. Pemuda itu akan benar-benar menjadi robot, tak tersenyum apalagi tertawa. Tembok tinggi dalam hatinya akan semakin kokoh.

-o0o-

Esoknya Dion kembali bersekolah, netra tajam yang semakin mengintimidasi itu menyapu pandang pada lorong sekolah.

Segala gumaman para gadis, tatapan benci, dan sorot aneh menjurus padanya. Rupanya semesta senang bermain, jika pemuda bersifat dingin lain mendapat tatapan memuja, Dion justru mendapat kebencian.

Tak ada ucapan belasungkawa dari murid lain, kecuali Rafael. Dion tak peduli, hidupnya bukan hanya tentang orang lain.

Tatapannya teralih karena getaran pada ponselnya.

"Papa ingin bicara nanti."

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang