Acara perkenalan yang dilanjutkan dengan makan siang dengan keluarga Samuel sudah selesai, sekarang aku sedang duduk berdampingan di balkon kamar samuel dengan kepalaku yang bersandar pada pundaknya. Pandanganku kosong menatap ke depan, sementara dia sedang fokus pada laptopnya mengerjakan beberapa pekerjaan. Seketika aku memikirkan gambaran kehidupan masa depanku setelah menikah dengan Samuel nanti, membayangkan sebuah keluarga kecil yang bahagia membuat senyum terlengkung di bibirku.
" Kenapa senyum-senyum gitu? Ngelamuin yang jorok jorok ya?" Tanyanya sambil mengguncang pelan pundaknya, membuat kepalaku sedikit terbentur.
Sial. ini anak udah mulai mode ngajak gelut lagi aja, padahal udah bagus dari tadi anteng-anteng aja di depan laptop ngurusin kerajaan.
" Aww sakitt." Lanjutnya, sambil meringis karena aku baru saja mencubit pinggangnya.
" Jangan samain otak ngeres kamu ke aku ya, orang tadi aku lagi bayangin...." Aku menghentikan ucapanku karena sadar jika aku meneruskannya pasti Samuel akan tetap mengaitkannya dengan hal yang tidak-tidak.
" Hayoo bayangin apa...? Mah...Mamah Tiara ni mah bayangin yang jorok-jorok." Teriaknya keras. Membuat aku gelagapan. Sialan! Samuel! Untung saja aku masih sadar jika membunuh orang itu dosa, jika tidak sudah kupastikan aku akan mencekik lehernya. Kan gak lucu udah menjanda sebelum menikah. Akhirnya aku hanya membekap mulutnya hingga dia terbatuk-batuk sampai wajahnya memerah.
" Tiara." Panggil samuel karena setelah kejadian tadi, aku langsung meninggalkannya masuk ke dalam kamar dan hanya duduk diam di sofa yang ada di kamar samuel. Sampai detik ini aku masih konsisten tak menggubrisnya.
" Tiara..."
" Tiaraaa..."
" kekasihku..."
Kampret! Dia malah nyanyi, padahal aku kira dia akan meminta maaf dan bersikap manis. Kalau saja jarak kami dekat, aku tidak akan segan segan menampol kepalanya.
Setelah kalimat itu, suara Samuel tak lagi terdengar aku juga tidak tahu apa yang sedang dia lakukan karena posisi dudukku yang membelakangi nya. Dia terdiam cukup lama dan aku juga melakukan hal yang sama, toh aku juga sedang marah padanya jadi aku tidak mau terlihat penasaran.
" Masih idup?" Aku memutar bola mata malas, dua kalimat tidak penting itu menyambut telingaku setelah beberapa menit tadi kita hanya saling diam. Dia dari tadi diam cuma buat ngeluarin kata mutiara itu doang? yang sontak membuatku mengeratkan gigi menahan kesal. Samuel kampret. Gak sekalian aja tanya " Saha ieu." Kaya paranormal yang lagi wawancara orang kesurupan.
" Iya." Kataku.
" Oh."
" Hmm." Balasku tidak mau kalah singkat.
" Oke." Jawabnya membalas.
" Sip."
" Iya." Dia membalas lagi. Sumpah, ini si luwak niat banget ngajak ribut. Maka daripada aku kelewat emosi dengan terus meladeni nya. Aku menghela nafas membalikkan badan ke arahnya yang kini sudah berada tepat di belakangku.
" Aku mau pul_"
" Bentar." Potong Samuel mencegah.
" Masih marah?"" Menurut ngana?" Balikku.
" Hemmm dari ngegas nya si masih."
Kedua bola mataku kembali memutar, ini basa basi macam apa sih yang lagi dia ciptakan. Bukannya memperbaiki suasana malah membuat keinginan ku menampol kepalanya semakin kuat.
" Kamu mau pulang sekarang atau tetap di sini?"
" Kamu mau kemana?" Balasku balik bertanya, ketika melihat nya sudah rapih dengan tas laptop yang menggantung di pundaknya.