Meski waktu memang bisa sembuhkan luka,
Namun waktu tak bisa ajak hati melupa.Malam itu, Semenjak aku memilih menyerah dan mengakhiri hubungan ku dengan Samuel nyatanya perasaanku jauh dari kata baik-baik saja. Apalagi setiap kali melihat Sarah dan samuel, sama saja seperti menambah parah luka yang sudah ada. Apakah fikiran ini yang membuat ku sulit untuk ikhlas? Mengapa harus sahabatku Sam.?
Aku tengah berjalan gontai menyusuri koridor yang sepi, hendak menuju parkiran untuk pulang. langkahku kembali terhenti, ketika lagi-lagi mataku harus melihat sosok Sarah dan Samuel, kali ini mereka terlihat sedang beradu argumen. Sarah terlihat mulai tersulut emosi, dia menahan pergelangan tangan Samuel yang nampak ingin pergi dari sana. Seperti biasa Samuel selalu bersikap tenang dengan tatapan nya yang memandang tajam lawan bicaranya, dan kini kusadari aku membenci hal itu karena sikap tenang nya justru membuat dirinya begitu sulit untuk di tebak.
" Berengsek! Lu gak bisa pergi gitu aja, lu harus tanggung jawab." Bentak Sarah pada samuel.
" Lu gak perlu khawatir, gw pastiin gw akan tanggung jawab."
Hanya itu yang aku dengar dari percakapan mereka, karena setelahnya Samuel benar-benar meninggalkan Sarah. Sepotong percakapan mereka yang ternyata mampu membuat dadaku seperti di hantam batu besar. Demi Tuhan tubuhku terasa lemas, sebenarnya apa yang telah terjadi di antara mereka.....
Cuaca di luar kini sedang hujan, setelah pulang sekolah tadi aku memutuskan untuk berada di cafe ini, duduk terdiam sendirian untuk menenangkan diri.
Aku kembali menyesap coklat panasku sambil memandang ke luar jendela, tersenyum miris mengingat kejadian di sekolah tadi siang.
" Hey, boleh gw duduk di sini?" Suara seorang lelaki terdengar, membuat ku menengok dan mendongak melihat sosok laki-laki di hadapanku yang tengah tersenyum tipis.
" Rey." Ucapku sedikit terkejut.
" Boleh gw temenin lu?" Ucapnya. Yang ku balas dengan anggukan.
Rey mengambil posisi duduk di hadapanku. Seperti nya aku memang butuh teman agar tak terlalu terlihat menyedihkan.
" Kamu ngapain di sini?" Aku langsung saja bertanya pada Rey agar keadaan nya tak terlalu canggung.
" Are you okey?" Dia justru bertanya balik. Apakah kondisi ku nampak sekali menyedihkan di matanya sampai-sampai dia mampu dengan cepat menyadari nya. Ntah kenapa pertanyaan Rey membuatku kembali melemah, tanpa terasa air mataku jatuh begitu saja.
" Hey... kenapa kok malah nangis?" Tanyanya lembut yang justru membuatku semakin sulit membendung air mataku.
" Samuel." Ucapku berat di tengah isakanku. Rey dengan sigap beralih dari tempat duduknya dan kini duduk di sebelah ku, dia merengkuh tubuhku dalam lingkaran lengan nya dan membiarkan aku menangis dalam dekapannya.
" Rey..." Panggilku.
" iYaa? Apa Lu udah ngerasa lebih baik?" Tanyanya dengan tangan yang masih mengusap lenganku. Aku kembali menegakan tubuhku perlahan melepaskan diri dari rengkuhannya.
" Yaudah sekarang lu bisa cerita sama gw, lu kenapa ti?" Aku melihat tatapan nya begitu teduh, meski raut wajahnya nampak sekali sedang khawatir. Aku masih terdiam memandang kosong, rasanya sangat menyakitkan jika harus membuka kembali luka yang berusaha aku tutupi setengah mati.
" Samuel, Rey." Ucapku pelan seiring dengan air mataku yang kembali terjatuh dan Rey yang kembali membawa ku ke dalam rengkuhan nya.
" Ssstttt.... Udah ya. Lu bisa cerita kalau lu udah siap."
Pada akhirnya dengan susah payah aku bisa menceritakan seluruh isi hatiku pada Rey, walaupun harus menguak lagi luka yang ada namun aku merasa sedikit lega.