Sedari tadi aku hanya diam, dengan Samuel yang masih memandang ke arahku seolah menunggu jawaban. Padahal aku sendiri saja masih bingung ini dia serius atau bercanda, di anggap bercanda tapi jokes nya susah buat di ketawain.
" Kamu kenapa sih? Dari tadi malah diem aja." Aku melirik ke arah Samuel sebentar memastikan apakah moodnya baik-baik saja, lalu menghela nafas setelahnya karena melihat ekspresi nya yang masih terhitung kondusif.
" Gimana gak mau diem kalau di kasih pertanyaan kaya gitu, mana dadakan lagi."
" Pertanyaan apaan? Soal nikah tadi?" Aku mengangguk lemah. "Yaelah gak usah di bawa serius banget." Entah kenapa ucapan Samuel membuat ku lega dan juga kecewa secara bersamaan.
" Iya juga ya, lagian kita juga gak punya hubungan apapun, apa juga yang mau di seriusin." Kataku sarkas sambil memalingkan muka, malas melanjutkan obrolan ini. Dan Samuel justru tertawa mendengar tanggapan ku.
Samuel duduk tepat di sampingku, namun ku rasakan tubuhnya justru semakin dirapatkan ke tubuhku. Sedangkan kepalanya kini sedang sibuk mencari posisi nyaman untuk bersandar dan dengan santainya tangan nya ia lingkarkan ke lenganku. Aku heran padahal dia kan sakit nya gejala typus bukan kehilangan jati diri, tapi ini kenapa sikap nya jadi beda banget gini.
" Sam aku tuh mendingan lihat kamu yang serius, judes, jutek, galak, marah marah deh gak aneh buat aku. Ketimbang kamu kaya gini kok aku malah takut ya." Ucapku jujur.
" Aku yang harus nya takut, baru baikan tapi kamu udah ancang-ancang mau marah lagi aja, padahal maksud aku ngomong gitu tuh biar kamu gak overthinking. Lagian gak usah di jawab juga aku udah tau pasti di terima"
" Yee pede banget, aku kan juga perlu tau advantage nya buat aku apa kalau aku terima." Samuel mendongak ke arahku dengan ekspresi serius seperti orang sedang berfikir.
" Hemmm gimana kalau, uang belanja di atas UMR setiap bulan, jaminan hidup mapan plus bonus nya anak yg lucu lucu nanti." Ucapnya yang malah terdengar seperti bos yang sedang nego gaji dengan calon karyawan nya.
Aku tertawa terpingkal, sedetik kemudian aku justru membayangkan ngeri juga nanti anakku pada kaya limbad semua kalau bapaknya dia. Sam mendengus kesal kala kepala nya yang sedang bersandar di bahuku ikut terguncang saat aku sedang tertawa tadi, aku kemudian berinisiatif mengusap usap kepalanya agar ia kembali merasa nyaman, benar saja, kini dia sudah jinak kembali ditempatnya.
Aku masih dengan posisiku tadi, ketika melihat ka Reina yang tiba-tiba muncul dan berjalan kearah aku dan Samuel, aku refleks melepas lenganku dan menjauhkan tubuhku dari samuel, membuat nya menatap ku dengan tatapan kesal lalu beralih menatap kakak nya.
" Ngapain nyender nyender ke tamu gw?" Tanya ka Reina pada Samuel. " Tadi aja di usir." Lanjutnya lagi kini dengan nada menyindir.
" Tamu lu? Lu lupa dia udah lu over kredit pas di kamar gw tadi? Status dia sekarang bukan lagi tamu lu, tapi pacar gw."
Aisshhh, over kredit di kira aku motor gadaian.
" Sejak kapan?" Tanya ka Reina bingung dengan tatapan menyelidik bergantian ke aku dan Samuel.
" Sejak kita berdua tadi ciu---."
" Diam!" Sergahku cepat sebelum mulut ember Samuel membuat blunder yang tidak-tidak. Aku menatap nya tajam lalu berdiri dari sofa, lebih baik aku buru buru berpamitan pulang pada ka Reina daripada mati malu di sini gara gara mulut nya Samuel yg rasanya ingin aku tanam benang saat ini juga biar gak asal kalau ngomong.
Seperti yang sudah direncanakan aku pulang dengan di antar samuel, dia memilih duluan menunggu di mobil dan meninggalkan ku bersama ka Reina. Setelah di teror oleh Samuel melalui puluhan panggilan masuk dan bunyi klakson mobil akhirnya aku memutuskan menyudahi obrolan ku dengan ka Reina dan segera bergegas menyusul nya yang sudah rewel di dalam mobil.