INI BUKAN KALI PERTAMAKU naik mobil van, tapi hal yang paling kubenci dari naik van rongsok pamanku adalah; kecepatan gila yang bisa kau kerahkan hanya dengan menginjak gas.
Pamanku adalah pembalap liar, jadi hal ini tidak mengejutkan. Tapi tak ada siapa pun yang bisa mengontrol lambung mereka saat naik van berkecepatan tinggi di hari kiamat.
“Bagaimana Ayah tahu aku ada di mana?” Aku meremas perutku. Rasanya seperti ada tornado kecil di dalam. Mengaduk-aduk sisa makanan seperti blender. Beruntung aku masih bisa bicara.
Kami telah meninggalkan jalan stasiun yang rusuh, penuh api, dan penuh peluru. Sekarang van melaju di jalanan lengang, penuh sampah dan gedung-gedung yang hangus terbakar. Aku melirik jalanan lewat jendela, tak ada seorang pun di sana kecuali beberapa kucing liar dan gelandangan yang merokok. Mereka memudar seperti asap secepat cahaya.
“Ned memberitahu Ayah,” kata ayahku, matanya tidak bisa lepas dari jendela. Dia tampak lebih kacau dibanding yang pernah kulihat—kantung mata hitam, jaket kulit yang setengah terkoyak, wajah berkerut seolah bertambah tua, dan jika mataku tidak mengelabuiku, dia bisa saja punya beberapa helai uban. Dia jauh lebih mirip kakek dibanding ayahku. “Dia di jalan sendirian, menggenggam pistol listrik. Dia memberitahu Ayah tentangmu. Ajaib bocah dua belas tahun bisa bertahan di situ sendirian.”
“Dia nggak mau ikut?”
“Ayah menawarinya, tapi dia berkeras menolak. Dia bilang ingin menemui ayahnya. Jadi Ayah meminjamkannya beberapa barang. Untuk berjaga-jaga,” ujar ayahku, dengan suara letih dan panjang.
Aku menoleh ke bagian belakang van. Di salah satu kursi penumpang, ibuku terkulai dengan selimut menutupi setengah tubuhnya. Lemah dan pucat. Aku berpikir apakah Ned akan kembali dengan keadaan seperti ibuku, atau lebih buruk.
Sesuatu menghantam jendela di sebelahku, memantul menjauh. Retakan memanjang muncul di kaca. Aku berjengit. “Apa itu?”
Ayahku tampak waspada. “Kita sudah dekat,” katanya. “Pegangan erat-erat.”
Awalnya aku tidak tahu apa yang ayahku bicarakan, tetapi setelah melewati beberapa gedung-gedung tinggi hangus dan lampu jalan yang rusak, aku tahu apa maksudnya. Kami akan pergi ke pusat kota. Tempat paling berbahaya di Amerika saat ini. Warna merah menyala di depan mulai mendekat.
“Leon,” ujar ayahku, menatapku lurus-lurus di mata. “Ambil alih kemudinya.”
“Apa?” Aku mengerjap. “Untuk apa? Aku bahkan nggak tahu cara menyetir!”
“Kita tak punya pilihan. Kau dan Ayah harus bertukar tempat,” ayahku berkata sambil mencondongkan tubuhnya ke tempat dudukku, seolah bersiap untuk melompat.
“Aku masih di bawah umur! Aku nggak punya SIM!” protesku panik. “Aku bakal membuat kita tabrakan parah dan tewas!”
“Cepat, Leon.” Ayahku tidak melepaskan pandangannya dari jendela. Mobil melaju semakin dekat. Suara tembakan kembali terdengar. “Dalam hitungan, tiga—”
“Apa?”
“Dua—”
“Ayah, ini nggak akan—”
“Satu—”
Aku melompat.
Tanganku berusaha menggenggam setir, dan kakiku yang masih belum bertumbuh tinggi berusaha menginjak pedal gas hingga merosot. Posisiku sekarang kurang lebih mirip kadal yang berselonjor di kursi pantai di bawah sinar matahari.
“Apa selanjutnya?” tanyaku dengan bibir gemetar. Ini pertama kalinya aku pernah mencoba memegang setir. Aku melihat tulisan rumit di persneling dan mendadak perutku melilit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...