“BUKAN INI ...” gumamku ragu, dan aku cepat-cepat menarik kembali kursi tiga kaki dari lubang di tembok.
Aku sudah mencoba berbagai barang-barang yang bisa kutemukan—yang tidak banyak—di apartemenku untuk setidaknya, membuat lubang di dinding tidak begitu terlihat. Meja kayu kecil, vas, microwave, kursi berlengan favorit Ayah, dan sofa (yang harus kudorong dengan seluruh tenaga agar bisa bergerak), tergeletak penuh debu secara cuma-cuma di sudut ruangan.
“Mungkin ...” gumamku, melirik sofa dan kursi berlengan, lalu menggeleng. Tidak, aku sudah mencobanya—sofa berderet dengan kursi berlengan dan meja kayu, dan di atasnya bertumpuk segala macam barang yang bisa kutemukan (termasuk remot TV). Tapi bahkan benda sebanyak itu dan segala jerih payahku tidak bisa menutupi setengah dari kerusakan monster-monster beberapa jam yang lalu.
Sejujurnya, aku lebih takut untuk menjelaskan segalanya pada Ayah dibanding mencemaskan tempat tinggalku yang nyaris hancur. Maksudku, orang dewasa mana yang bakal percaya pada kisah bocah dua belas tahun tentang monster anjing dan alien? Dan orang dewasa mana yang bisa percaya lubang setinggi enam meter bisa dibuat tanpa bantuan bola perusak dan bencana alam terajaib sepanjang masa? Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana tentang kepunahan lima dunia dan aku sebagai orang terpilih. Rasanya kepalaku bagai dibelah dua memikirkannya.
Aku teringat tentang gadis itu, Vooir, bicara tentang membuat orang-orang tidak menyadari lubang sebesar ini.
Aku mencoba mempertimbangkannya, toh dia pernah membuat bilah tombak hitam ajaib dari udara kosong. Dan siapa tahu betapa canggihnya teknologi alien di luar sana? Tapi bagaimanapun, sulit membayangkan sebuah lubang raksasa tak menyebabkan berita gempar, dan aku masih meragukan gadis itu tentang segala situasi ini. Rasanya seperti dia menanggalkan beberapa detail dariku untuk sesuatu. Semestinya aku tetap menagih ganti rugi meski dia alien.
Aku berbalik dan duduk malas di sofa, sebelum aku sontak teringat; ibuku. Aku bahkan sempat menghabiskan waktu pada dinding dibanding ibuku sendiri, dan kurasakan perutku melilit-lilit.
Aku bergegas menuju kamar ibuku, yang sebenarnya tidak jauh, tetapi aku menginjak serpihan-serpihan dinding yang bertebaran dan meringis kesakitan. Rasanya lebih sakit dibanding menginjak sebalok LEGO.
Dengan hati-hati, aku membuka pintu kamar ibuku yang mengeluarkan suara berderit. Aku mengambil napas dalam-dalam untuk menghadapi skenario terburuk yang bisa terjadi, tapi aku mengembuskan napas lega saat melihat semuanya baik-baik saja.
Ibuku terbaring pada ranjangnya, sepucat mayat, dengan keringat yang sama banyaknya seperti tadi malam. Namun matanya terbuka—lebar-lebar, seolah dia melihat sesuatu yang amat sangat buruk tepat di hadapannya.
Maksudku, beberapa jam yang lalu, monster-monster menghajarku tepat di wajah, dan mati listrik serta gempa bumi terjadi sebelumnya. Tapi yang mengkhawatirkanku, apakah ibuku melihat semuanya? Itu tidak mungkin, dia tidak pernah keluar dari kamar ini. Tapi siapa tahu apa yang terjadi?
Aku perlahan mendekati ibuku, dia kelihatan kacau—lebih dari biasanya. Dengan jemari gemetar, aku mencoba menyentuh rambut pirang berminyaknya, tetapi terlonjak dengan genggaman dingin yang mendadak melingkari pergelangan tanganku.
Ibuku terduduk di tengah kasur, mencengkeram tanganku dengan tangan pucatnya dan jemarinya yang kurus. Rambutnya berantakan—menutupi setengah wajahnya, dan dia memandangku lurus-lurus di wajah. Jika dia bukan ibuku, aku pasti sudah mengira dia gila.
“Di ... mana ... Arthur?” katanya dengan suara serak dan gemetar.
Aku menelan ludah. “Ayah—”
Ia memelototiku dengan pandangan liar. “Jangan pakai itu untuk memanggilnya!”
Aku terlonjak. Keringat mulai menetes di dahiku. Ini tidak biasa, apa yang terjadi padanya? Aku mencoba untuk tetap terlihat tenang. “A-Arthur tidak di sini,” kataku, meski bisa kurasakan bibirku gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...