22

31 10 0
                                    

KAMI MENGHABISKAN waktu tidur kami dengan berputar-putar cemas hingga fajar merekah. Langit hitam berubah menjadi abu-abu cerah bertebur kabut, udara di sekitar kami menghangat beberapa derajat.

Kami sudah trauma dengan kejadian restoran Bernie malam hari itu, jadi kami melanjutkan perjalanan sambil menggigiti roti dan kue kering selama perjalanan kami. Rasanya seperti menyantap kardus, tapi itu lebih baik daripada menemui Bernie kedua.

Selagi kami berjalan menuruni bukit, kepalaku berdenyut-denyut memikirkan apa yang si manusia serigala katakan padaku. Titaneos mengawasiku seperti seorang ayah. Apa maksudnya? Aku meraih sobekan celemek Bernie dari sakuku sambil bertanya-tanya.

“Kau tidak akan tenang kalau terus memikirkan itu,” kata Vooir di depanku, seolah dia bisa membaca apa yang sedang kucemaskan. “Beberapa Esmerides hanya mengatakan omong kosong untuk mengelabui konsentrasimu.”

Aku tahu Vooir ada benarnya, tapi aku masih merasa semua itu tak mungkin seratus persen omong kosong. Sejak mendengar namanya di perpustakaan Rot, tubuhku selalu menggigil, seakan-akan aku punya suatu hubungan dengannya yang tidak kuketahui. Aku memasukkan kembali robekan celemek Bernie ke sakuku. “Kira-kira tinggal berapa lama lagi?”

Ned mendesah. “Seandainya kita nggak kehilangan peta itu.” Sejak dia bangun, Ned tampak seakan-akan setengah jiwanya terkuras. “Mungkin aku bakal punya trauma jangka-panjang dengan pai scotch.”

“Dan burger.”

“Dan steak sirloin.”

“Ayolah, Teman-Teman.” Vooir memelototi kami sambil mempercepat langkahnya. Kami memasuki barisan pohon-pohon berdaun kuning, dengan bunga-bunga warna emas terang dan jingga, seakan-akan musim dingin mendadak berubah menjadi musim semi. “Kita akan tiba di tujuan sebentar lagi. Dan tolong, lupakan segala hal tentang Bernie supaya—”

“Wow,” Ned dan aku terkesiap, terdiam di tengah perjalanan.

Padang rumput luas berwarna-warni kuning membentang di balik pepohonan. Di kirinya sebuah pancuran air berdeguk, menyinari rumputnya dengan kilau kebiruan. Di sisi kanannya, ada danau dengan permukaan air sewarna hijau laut, dengan bebatuan karang kelabu perak tepat di sampingnya. Seekor rusa berlompatan dan menghilang di balik sesemakan, menuju jalan landai yang terbuka kembali ke musim dingin. Kami melangkah masuk pelan-pelan. Rumput yang kami injak sama sekali tak bersalju, padahal itu tidak mungkin. Kami memandangi tempat yang indah itu dengan takjub, lalu berhenti ketika seseorang terlihat di depan kami.

Gadis itu duduk di atas karang besar pada tengah-tengah hutan jingga, seperti seorang putri duyung. Rambut panjangnya yang berwarna tembaga dihiasi oleh dedaunan berwarna hijau dan biru. Untuk ukuran gadis, dia cukup tinggi, dengan bahu tegap dan leher panjang yang cukup mengkhawatirkan untuk anak seumuranku. Dia terbalut dengan gaun sutra putih, berkibar saat angin menyapu sosoknya. Aku tidak tahu kalau ada orang lain di gunung selain kami. Daun-daun dan kelopak bunga bertebaran ketika ia membalikan badan.

“Oh.” Senyumnya merekah. “Jadi kalian berhasil sampai juga?”

Matanya berwarna hijau giok yang nyaris tampak tak nyata. Di cantik, seperti artis remaja Irlandia di majalah-majalah mode. Tangannya menggenggam sesuatu yang mirip guci keramik. Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia katakan, tapi saat matanya menyapu wajahku, aku hanya bisa menguak, “Apa?”

“Kupikir kalian tidak akan bisa sampai ke sini.” Gadis itu meneguk apa pun isi guci keramiknya. Hidungnya memerah, seakan-akan dia sedang ... mabuk. “Aku sungguh-sungguh kesal mereka tak segera membantai kalian.”

Kami saling menatap. Aku tidak tahu pemandangan mana yang lebih mengejutkan: gadis ini berbicara soal membantai kami, atau bahwa seorang gadis belasan tahun sedang meneguk alkohol. Keduanya tidak terdengar bagus.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang