8 - (II)

116 37 6
                                    

KAMI NYARIS MENABRAK pohon besar di depan, tetapi dengan cepat ayahku menginjak kakiku ke pedal rem, yang cukup menyakitkan.

Van berhenti, hanya beberapa senti dari pohon itu. Kap depan mobil mengepul penuh asap. Ayahku membuka pintu mobil dan keluar, memeriksa kap sambil terbatuk-batuk.

Aku menoleh ke belakang untuk memeriksa ibuku. Dia masih tebaring lemah dengan keringat dingin membanjiri wajahnya. Aku khawatir bagaimana keadaannya—maksudku, van kami menabrak begitu banyak hal yang bahkan tak berani kupikirkan. Namun segalanya tampak baik-baik saja. Posisi tidurnya nyaris tidak berubah, wajahnya tidak sepucat biasanya, dan rambut pirangnya masih berada di tempat yang sama. Aku tidak tahu bagaimana dia masih berada di posisi itu setelah kecepatan gila tadi, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Toh, ini berita bagus.

Aku keluar dari van, menggigil karena udara dingin, sambil menggerakan tanganku untuk melenyapkan asap yang menyebar dari kap mobil.

Kami berada di tengah hutan pohon pinus yang kelam. Cahaya bulan dan bintang menerangi rerumputan dan lumpur di bawah kakiku. Pohon-pohon pinus yang runcing tampak seperti topi penyihir. Pohon yang nyaris kutabrak menjulang tepat di depanku, nyaris tampak melengkung.

Jauh di depan, terdapat perbukitan dan ladang-ladang. Rumah-rumah kecil menerangi langit malam, jendela-jendela jingga mereka menyerupai lentera. Aku bisa mendengar satu atau dua domba mengembik. Pemandangan itu lebih mirip miniatur dari sini, tapi melihatnya saja membuatku merasa damai.

“Ada hasil? Apa masih bisa diperbaiki?” tanyaku dengan mata menyipit.

Ayah mengerutkan alis—nyaris tak terlihat dari kepulan asap. “Bisa, tapi tidak di sini. Mesinnya telah mencapai batas. Jika dipaksa bergerak, mobil akan meledak.”

Aku sudah menduganya. Namun aku tetap merasa kecewa karena secuil harapanku sudah dienyahkan begitu saja. Aku hanya bisa memikirkan Ned dan ide-ide cerdiknya, seandainya dia di sini, kurasa dia bisa memperbaiki mobil kami dalam sekejap.

Aku khawatir dengan Ned. Apakah dia baik-baik saja di sana? Ayah bilang dia sendirian dan hanya membawa sebuah pistol listrik. Ayahku mungkin telah meminjamkannya beberapa barang untuk bertahan hidup, tapi aku masih tidak bisa membayangkan seorang bocah dua belas tahun menghadapi ratusan pemrotes bersenjata.

Ayah berjalan menghampiriku. Ia mengembuskan napas panjang, menggenggam kedua bahuku. Firasatku mengatakan bahwa saat ini adalah saat yang penting, dan itu membuatku gugup.

“Leon, dengarkan baik-baik,” ayahku memulai. “Ayah harus pergi. Bantuan tidak akan datang begitu saja. Ayah janji tidak akan lama. Setelah itu, kita akan cari tempat yang pantas untuk berlindung. Jaga baik-baik ibumu.”

Aku memandang ke atas, menatap perbukitan. Ladang-ladang berdesir, jendela-jendela rumah bersinar seperti lentera, dan embikan para domba bergaung di kejauhan. Dengan pemandangan ini, segalanya seolah tampak baik-baik saja. Tidak ada kekacauan. Tidak ada api yang membakar New York dari bawah ke atas. Kukira kami bisa terus di sini, entah berapa lama, bersama-sama.

“Ayah akan pergi?” Aku menunduk, berusaha menutupi genangan air di mataku. “Lagi?”

Ayah mengembuskan napas, lalu mengangguk. “Ya. Tak ada cara lain yang bisa Ayah lakukan,” katanya tegas. “Jangan khawatir. Ayah yakin penduduk desa di sana cukup ramah. Kuharap mereka punya beberapa kunci inggris dan bensin. Dan—oh, tunggu sebentar ....”

Dia merogoh saku jaket kulitnya, mengeluarkan sesuatu yang berkilau. Ia menyodorkannya kepadaku. Di telapak tangannya, tergeletak sebuah lempengan logam yang berkilat. Awalnya kukira itu pisau bedah karena gelapnya malam. Lalu kusadari bahwa itu adalah benda yang jauh lebih berbahaya. Sebuah pisau lipat, dengan bilah runcing mencekam, berkilat-kilat di bawah cahaya bulan.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang