12 - (II)

67 20 0
                                    

AKU TIDAK MUDAH tertidur malam itu. Aku berbaring sambil mendengarkan air yang menggelegak di suatu tempat di luar, suara orang-orang yang berbicara, dan dengkur Ned di bawah. Aku tak bisa melepaskan pikiranku dari Takdir Araez lain yang misterius, di mana dia, dan kenapa aku masih belum bisa menemuinya—hingga akhirnya, aku terlelap dan jatuh dalam mimpi.


Aku melihat sebuah meja makan di tengah-tengah ruangan putih—piring-piring ditumpuk dan tersebar pada sebuah meja marmer bundar, beruap hangat ke langit-langit. Jendela dibuka dan sinar mentari pagi merayap memasuki ruangan. Empat orang menduduki meja-meja tersebut. Satunya merupakan pria berambut hitam lebat, berkulit pucat, dan bermata biru dingin. Rasanya aku pernah melihat fitur serupa entah di mana. Janggutnya yang keperakan sangat panjang sampai-sampai menyentuh meja. Ia mengenakan baju hitam berkerah mandarin dan cincin-cincin perak. Di sampingnya, seorang wanita cantik berambut kecokelatan tersenyum. Wajahnya hangat dan mengingatkanku akan burung merpati. Rambutnya disanggul dan ia mengenakan perhiasan aneh di wajahnya—pelat keemasan berbentuk setengah lingkaran di dahi yang memanjang ke batang hidung.

Ia memandangi seorang gadis, kira-kira tak jauh lebih tua dariku, yang menyentuh-nyentuh piringnya dengan garpu dan tertawa. Ia mengenakan pakaian hitam yang mirip seperti si pria berjanggut panjang. Dia berambut hitam legam sebahu, berkulit pucat, dan bermata biru indah.

Aku mengenali wajahnya. Itu Vooir.

Itu pemandangan yang cukup aneh, karena aku tak pernah melihatnya tersenyum selama ini. Dia berbicara dengan laki-laki di sampingnya—piringnya beruap dengan semacam adonan aneh dan sesuatu yang terlihat seperti tomat ceri. Pemuda itu seperti cetakan persis Vooir yang lebih tua, mungkin sekitar enam belas tahun atau lebih. Satu-satunya hal yang menggangguku adalah potongan rambutnya. Dari jauh kau mungkin bakal mengiranya mengenakan helm.

Aku tidak mengerti mengapa aku menyaksikan ini, tapi rasanya menyenangkan. Di tempatku, kami tak pernah punya ruang makan, alih-alih meja kayu usang dan beberapa kursi lapuk yang ditumpuk di sisa ruang sempit. Dan kau bisa bayangkan betapa jaragnya makan malam bersama terjadi. Meski bukan hal yang luar biasa, pemandangan ini bukan hal yang sering terjadi bagiku.

Aku terus memandangi mereka—keluarga yang menikmati saat-saat bahagia sementara waktu berlalu. Cahaya matahari semakin naik di celah tirai jendela. Warna-warna terang seakan memulas segalanya. Namun kemudian, aku merasakan sesuatu seakan menarik kakiku dengan paksa—seolah-olah aku menginjak tempat yang salah di hutan belantara dan terjatuh—menghitamkan adegan yang kulihat, mengaburkannya, dan menghilang. Kilat-kilat cahaya menerangi mataku dari berbagai tempat seperti potongan-potongan film—sesuatu mengenai vas yang pecah, meja yang hancur berantakan, dan suara-suara yang memekakkan telinga. Aku merasakan tubuhku seakan terjatuh ke dalam kegelapan tak berujung selama-lamanya, sampai aku berani bersumpah tidak akan pernah melihat cahaya lagi—hingga sedetik kemudian, mataku terbuka dan kulihat langit-langit melengkung dan obor-obor yang menyala.

Aku terbangun dan menyadari diriku masih terbaring di kasur yang sama—Ned masih mendengkur sambil memeluk pernak-pernik Star Wars-nya yang berantakan, lalu kulihat Vooir. Dia terbaring di atas karpet merah marun sambil memandangi perkamen perjalanan Rym dan menulis daftar di atas kertas, kemudian mendongak menatapku. “Ada apa, Redwine? Kau terlihat pucat.”

Aku ingin menanyakan tentang apa yang kusaksikan, tapi aku berpaling dan berkata, “Nggak. Bukan apa-apa,” dan kembali berbaring di atas kasur. Kuputuskan ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Belum.

* * *

Pagi harinya, kami sarapan bersama para Tetua di lantai bawah. Semestinya aku tak perlu berharap banyak. Hidangan kali ini adalah semur daging hitam. Lagi. Kali ini tidak dingin, jadi kupikir tak ada salahnya mencobanya. Rasa rempah-rempah yang menyengat meledak di mulutku. Ternyata tidak buruk.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang