HAL TERAKHIR YANG kuinginkan saat dikepung selusin alien hippie adalah dibakar hidup-hidup.
Dan di sinilah aku, bersama Vooir dan Ned, menduduki karpet kulit berdebu di salah satu rumah bulat mereka, memegang semangkuk semur daging dingin berkuah hitam yang sampai saat ini belum kusentuh.
Tempat ini berupa pondok seluas seratus meter persegi atau lebih. Langit-langitnya melengkung seakan kami berada di dalam batok kelapa raksasa. Aku terpaku menatap api unggun yang berdesis di tengah-tengah kami, lalu akhirnya memandang ke sekitar. Obor-obor menggantung di dinding kemerahan, guci-guci tertata rapi di rak-rak kayu, dan perkamen-perkamen tua terpasang di dinding. Kemudian aku melihat tulang belulang seekor burung terpajang di dalam kotak kaca dan kembali menatap api.
Ned meletakkan mangkuknya ke lantai. Kurasa dia juga tak berselera melahap daging-entah-apa dengan kuah serupa tinta cumi-cumi. “Terima kasih—eh, atas bantuannya.”
Wanita tua bernama Astyr itu tengah minum dari gelas kayunya, hiasan kepalanya yang berat tergeletak di lantai. Sebagian besar rambutnya diselingi helai keperakan. “Bukan masalah,” ia berkata.
“Jadi ....” Ned memintal rambutnya dengan ragu-ragu, “Bagaimana Anda tahu kami akan datang?”
“Rym memberi tahuku segalanya.”
“Kami tahu, tapi ....” Ned bertanya lirih, “Siapa itu Rym?”
Astyr tersedak. “Siapa ... Rym? Itu pertanyaan konyol! Kalian tidak tahu siapa Rym Ti Varr? Sungguh?”
“Rym itu,” Vooir menyela, “pemimpin kalian, bukan?”
“Oh, pintar. Jelas Elledoire,” gumam Astyr. Dia kembali mengisap isi gelasnya. “Rym Ti Varr adalah pahlawan kami. Pemimpin. Legenda. Ratusan tahun lalu setelah dia diasingkan, ia membentuk suku Tria.”
“Diasingkan?” tanya Ned.
“Diasingkan, yah ....” Astyr mengecap-ngecap bibirnya. “Ceritanya panjang. Kalian yakin mau dengar?”
“Jika itu bisa membawa kami lebih dekat dengan pusakanya—iya.” Mata biru Vooir berkilat.
“Sudah kuduga kalian mencari pusaka,” gumam Astyr. “Omong-omong, di mana si pria tua itu?”
“Pria tua?” ulang Ned. “Maksud Anda Rogeid?”
“Yah, siapa pun namanya,” desahnya. “Dia dan kelompoknya sering berkunjung ke Tria. Kadang sekali sebulan, dan di lain waktu satu tahun sekali. Tentu saja, kami menyambut mereka sebagai penlancong dari negeri yang jauh—Rym mengajarkan agar menyambut para pendatang—tapi aku selalu tahu siapa mereka sebenarnya.” Astyr menatap salah satu perkamen yang terpatri di dinding. “Mereka selalu bertanya berbagai hal tentang Tria, Rym, dan juga pusakanya. Persis seperti kalian sekarang. Tetua lain mengira mereka hanya ingin mempelajari kisah Rym Ti Varr yang agung. Tapi aku tidak.”
“Sayangnya sekarang dia sedang tidak ada,” Vooir mengeluh.
“Dia bukan orang yang terlalu ramah,” gumam Astyr. “Ini pertama kalinya kami mendapat pengunjung dari Dunia lain tanpa sembunyi-sembunyi. Sepertinya orang-orang Aldeoirgh tak suka perhatian, ya?”
Bercak-bercak merah muda bermunculan di pipi Vooir.
“Rym diasingkan,” Astyr memulai, “dari sukunya, Rot, yang tinggal di seberang pulau. Setelah menemukan sihir, dia dicap sebagai penyihir jahat dan diusir.”
“Ikatan, maksud Anda?” Vooir menginterupsi.
“Itu istilah kalian,” jawab Astyr. “Setelah diusir, ia mengembara mengelilingi dunia. Mempelajari hal-hal baru dan bertemu orang-orang hebat. Rot tidak tahu bahwa Rym justu menyukai pengusirannya. Di perjalanan panjang itu, dia menemukan rekan-rekan dan sahabat-sahabat, yang akhirnya membentuk suku Tria.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasia[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...