14 - (I)

42 15 0
                                    

KALAU DIBERI PILIHAN, aku lebih suka merebus diriku sendiri sampai mati.

Tapi seperti seratus harapanku yang lainnya, itu tidak terjadi.

Kami terseok-seok kembali ke Kuil dengan gelisah. Seluruh badan kami basah kuyup dan angin musim dingin membekukannya, membuat kami berjalan dengan lengan dan kaki kaku seperti boneka kayu tanpa sendi. Sekitar sepuluh orang mengantre di depan kamar mandi dan aku beserta Ned mengentak-ngetakkan kaki dengan resah.

Malam telah tiba. Orang-orang pergi sambil menggerutu, tapi setidaknya mereka tidak lagi memandangku atas bawah seperti setiap pemandu sorak yang kutemui. Astyr berusaha berbicara dengan mereka, dan mereka tampaknya tidak punya pilihan selain memberi izin dengan terpaksa. Semua orang keluar sambil menggeleng-geleng. Api unggun dinyalakan dan aku duduk bersama Astyr sementara Ned dengan malas menaiki tangga spiral ke lantai atas.

Aku tidak tahu topik pembicaraan apa yang bakal menyurutkan suasana—aku bahkan masih belum terbiasa bicara. Kejadian tadi rasanya seperti mimpi. Tentu saja, ini bukan pertama kalinya aku hampir mati karena monster-monster sadis, tapi apa-apaan batonku tadi? Sekarang ia tersemat di sakuku, tapi kepalaku selalu saja memikirkannya.

“Kerjamu hebat,” kata Astyr tiba-tiba.

Api unggun berkobar dan, untuk sesaat, ia mengingatkanku akan langit jingga di sore itu.

“Eh—iya. Makasih,” kataku, mencoba tidak terdengar terlalu linglung.

Aku menatap kotak kaca berisi kerangka burung yang berkelebat jingga. Apa Astyr sudah merencanakannya? Dia tak bakal membiarkan orang sebanyak itu mati, kan? Pasti bagian dari rencana. Mungkin kelabang raksasa itu sihir proyeksi tiga dinensi atau hologram atau apalah. Astyr tidak akan membiarkan aku mati.

Iya, kan?

“Sore tadi,” kataku gelisah, “itu pasti sudah direncanakan, kan? Itu nggak nyata. Orang sepertimu nggak mungkin membiarkan semua orang mati—”

“Tak ada rahasia.” Astyr mengedikkan bahu. “Aku cuma percaya kau bisa melakukannya. Itu saja.”

“Apa?”

“Begini, Anak Muda. Sejak awal aku tidak pernah memikirkan kau bakal mati. Jadi cuma pikiran naluriahku untuk membuatmu menghadapi Skryll. Dan kau berhasil. Cuma itu.”

“Cuma itu?”

“Kau mau aku menceritakan dongeng tidur atau apa?”

Aku tak tahu harus merasa senang, sedih, atau marah. “Tapi—tapi—”

“Jangan terlalu dipikirkan,” Astyr menenangkan. “Skryll hewan legendaris, tapi mereka herbivora. Jadi tak ada alasan bagi mereka untuk mengincar daging. Kupikir kemampuanmu bakal tumbuh pesat  kalau-kalau berurusan dengannya. Dan, sebagai bonus, para tetinggi bisa melihat bukti langsung kalau kau pantas diterima.”

Wajahku merah padam. “Oh, iya. Biarkan saja Leon yang malang dipukuli monster kelabang dari neraka,” gerutuku.

Astyr memandangku. “Sepertinya kau berhasil membuat pusakamu bekerja, ya?”

“Eh—iya.” Aku menatap saku celanaku. “Bisa berubah bentuk jadi bermacam-macam.”

“Sempurna!” kata Astyr bersemangat. “Coba gunakan lagi!”

“Tapi aku masih—”

“Lakukan saja. Nggak akan seburuk itu, kok.”

Aku mendesah, dan kukeluarkan pusakaku. Permukaannya keemasan dan masih baton orkestra yang biasa. “Apa yang harus kulakukan?”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang