2

306 56 2
                                    

OMONG-OMONG soal sekolah, SMP Clover ini lumayan sinting.

Pertama, guru kami tidak becus. Bukannya berubah tidak becus setelah bencana tornado, tapi sejak awal. Hanya saja ketidakbecusan mereka makin kelihatan setelahnya.

Aku pernah melihat guru matematika kami, Pak Green, melewati Ned yang ditodong penggaris lancip oleh Jake. Bajuku dicekik oleh pelayan setianya dan badanku diserempet di dinding sebelah. Pak Green menatap kami selama sedetik, lalu berjalan menuju ruang guru seolah yang kami lakukan cuma menempelkan poster selamat datang di papan pengumuman.

Kedua, beberapa orang gila bisa menjadi guru, dan itu termasuk Pak Murphy.

Aku menggantungkan jas hujanku di loker. Lorong-lorong sekolah sama sepinya selama tiga bulan terakhir.
Ned menoleh kanan-kiri sebelum memasukan jas hujannya. Kurasa dia masih waswas soal Jake.

Orang-orang yang masuk sekolah antara lain adalah anak-anak super pintar, atau anak-anak super populer. Lalu ada golongan kecil yang lain, anak-anak super nekat. Yaitu aku, dan siswa pindahan dari Jerman, Dieter Beck, yang suka membagikan batangan cokelat setiap hari Jumat.

Nyaliku menciut. Aku sama sekali tak menonjol, dan hampir tidak ada yang mengingatku kecuali Ned dan Jake, termasuk para guru. Selain bahwa nama belakangku unik; Redwine—anggur merah. Pernah sekali saat absensi kelas sejarah, guru sejarah kami membaca namaku, dan berujar ke seluruh kelas, “Ini nama orang atau merek miras?” yang membuat puluhan mata menempel padaku, menatapku seolah aku telah menonjok nenek-nenek mereka, lalu tertawa terbahak-bahak.

Sejak saat itu aku merasakan paranoia berlebihan terhadap kata anggur, mungkin jika aku tidak berusaha menahan rasa nekatku dan memotong urat maluku, aku bakal menghajar muka orang di koridor hingga babak belur di suatu titik kehidupanku.

Kalau aku tidak salah ingat, Ned juga pernah mengejekku dan bilang kalau aku mirip kucing hitam kusut milik tetangga nenek-neneknya yang tiap hari makan kol rebus. Aku tak tahu pasti apa artinya itu, tapi kutebak wajahku ada kemiripan dengan para felidae. Berarti ada kemungkinan aku mirip singa keren, tapi aku heran mengapa tak ada seorang pun murid yang menganggapku begitu.

Aku tengah mengambil buku dan alat tulis sesaat bel berdering. Aku melejit melewati lorong diikuti Ned yang sebelumnya mengutak-atik figurine Luke Skywalker. Dia memperlakukan mainan itu seperti benda keramat yang bisa gerak di malam hari.

* * *

Pelajaran pertama adalah sains.

Dan sesuai dugaanmu, sekarang adalah bagiannya Pak Murphy.

Kami duduk di kursi masing-masing. Ada delapan orang di kelas ini, tiga anak lainnya yang jarang masuk akhirnya kembali, dan saat melihat rengutan suram di wajah mereka, aku yakin bukan dengan alasan baik-baik.

Aku duduk di barisan tengah, di bagian tengah baris tengahnya juga. Tempat dudukku sejak tahun pertama ajaran. Jangan menyebutku super membosankan, atau super-tidak-mengesankan, atau super cupu dan semacamnya, bagiku ini adalah tempat duduk paling strategis yang pernah kududuki selama enam tahun kehidupan pelajar. Tidak ada guru yang benar-benar memperhatikan; yang artinya kemungkinan mempermalukan diriku sendiri di depan seluruh kelas nyaris mustahil, dan itu benar terbukti, mengecualikan kejadian kelas sejarah itu, sih. Mengingatnya saja membuat seluruh badanku menggigil.

Aku melirik Ned, dia duduk di barisan seberang, satu kursi di belakangku. Dia nyengir dan melambaikan tangan ke arahku, lalu dengan cekatan mengeluarkan buku-bukunya, tepat sebelum Pak Murphy memasuki kelas dengan senyuman kuning-tartarnya.

Dengan cepat aku berpaling, menghadap lurus-lurus ke papan tulis. Sekilas aku melihat Jake, bersandar di kursi depan dengan seringai bengisnya. Aku tidak kaget dia punya harga diri yang cukup tebal untuk menunjukkan mukanya di depan. Seumur hidupku baru pertama kali aku menemukan bocah pengganggu yang tingkat kepercayaan dirinya kelewat batas.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang