KETIKA aku terbangun, kira-kira setengah tenda lepas dari pancangnya.
Aku keluar dari kantong tidur dan meraih ujung tenda yang berkibar-kibar. “Ned! Vooir!” panggilku, mencoba menjaga keseimbangan melawan angin yang deras.
Vooir dan Ned segera meraih ujung-ujung di sisi lain, dan mereka menarik tenda begitu kuat sehingga aku bisa meraih pancang yang terlepas di tanah. Tapi ketika aku hampir berhasil menancapkannya, guncangan angin melepaskan genggamanku. Kain kanvasnya terbang mengikuti angin dan menghilang di bawah tebing.
“Yah,” gumam Ned, mengangkat bahu. “Setidaknya kita sudah mencoba.”
Kami membersihkan barang-barang kami dengan putus asa, melipat kantong tidur dan mengangkat tas-tas yang beratnya satu ton. Matahari pucat menyinari kami dari balik kabut dan awan yang mewarnai cakrawala. Kami berjalan keluar dari tebing cokelat itu, melanjutkan perjalanan. Pepohonan runcing kembali mengikuti pandangan kami. Bebatuan tersebar di balik salju putih, seperti nisan yang ditinggalkan.
“Kira-kira berapa jam lagi sampai kita sampai ke sana?” tanyaku pada Vooir, yang memegang petanya erat-erat sambil memimpin perjalanan kami.
Matanya agak sembap karena obrolan kami semalam, tapi kulitnya kelihatan lebih cerah daripada biasanya, mata birunya yang sewarna laut berbinar. “Enam kilometer lagi. Itu artinya tiga jam. Kita punya banyak waktu di perjalanan sebelum kita sampai,” katanya.
Aku baru menyadari yang akan kita tempuh adalah kawah superpanas yang dapat mengelupas kulit manusia. “O-oh—yah, kurasa kita bisa makan atau semacamnya,” gagapku.
Ned mengerutkan dahinya. “Tapi, apa yang harus kita lakukan ketika kita tiba?”
Ekspresi Vooir mendadak berubah. “Kita tidak perlu perlindungan untuk melawan panasnya,” katanya. “Tapi kita perlu sesuatu untuk melewatinya.”
“Melewatinya?” Aku menunduk saat sebuah ranting pohon nyaris mengenai kepalaku. “Memangnya kita nggak bisa melewati kawah itu dengan cara biasa?”
“Sayangnya tidak,” Vooir menggeleng. “Kawah ini berbeda. Yang benar-benar perlu kita hadapi adalah uap dari kawah itu.”
“Uap?”
“Semburan uap,” kata Vooir, memeragakan semburan yang meledak di langit dengan tangannya. “Bisa melemparmu sepuluh meter dari permukaan tanah kalau tidak berhati-hati.”
Ned dan aku menatap satu sama lain dengan gugup. Kata uap dan semburan sudah jadi trauma bagi kami setelah menghadapi monster raksasa kelabang Skryll di sungai Tria. Kami tidak mungkin menghadapi sesuatu seperti itu lagi.
“Apa kita benar-benar harus melewati kawah itu?” tanya Ned gugup, berkeringat dari ujung kepala ke ujung kaki. “Kita nggak bisa berputar atau semacannya?”
“Atau jalan pintas?” tanyaku.
“Atau rute putar?” desak Ned.
“Satu-satunya jalan menuju Jantung Harautt adalah rute ini.” Vooir menunjuk satu-satunya lika-liku jalan yang terpeta pada gulungan perkamennya. “Rute Harautt. Kurasa kau sudah mengerti mendengar namanya.”
Ned mengerang bersamaku. Kurasa kami tak boleh mengeluh tentang kawah ketika kami sedang berhadapan dengan makhluk-makhluk mahakuasa.
Kami telah melewati kabut putih dan semak-semak berduri, menaiki bukit yang beku serta bebatuan. Udaranya sanggup membuat tenggorokanku kering. Kami memanjat ke atas menuju perbukitan, tapi aku terus merasakan perasaan aneh. Ketika aku memandang tebing es, aku mendapati sengatan aneh di punggungku dan menoleh pada hutan yang membentang di belakang sana. Keresak-keresik janggal seperti gerak hewan tersembunyi di antara pohon dan dedaunan. Aku menelan ludah, berusaha melupakan itu selama perjalananku selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...