AKU MERASA aku bermimpi. Hal-hal yang mengabur dan tidak jelas. Kupikir aku melihat rambut merah Ned, atau bayangan kabur wajah pucat Vooir—tapi segalanya mengabur lebih cepat dibanding debu yang ditiup angin. Kurasa aku sempat terbangun berkali-kali, tapi tenagaku tidak cukup kuat untuk membuka mata lebih dari semenit. Jadi aku tertidur lagi.
Saat mataku benar-benar terbuka, hal pertama yang kulihat adalah wajah pucat ibuku.
Aku terbaring di salah satu kursi van. Suara derum mesin memenuhi telingaku. Kepalaku berdenyut-denyut seolah ada yang memukul-mukul pelipisku dengan tongkat bisbol berpaku, dan tenggorokanku lebih kering dibanding gurun pasir di tengah hari. Gusi dan gigiku sakit dan seluruh tubuhku terasa seperti mumi. Aku berusaha duduk—yang butuh waktu lama karena tulang-tulangku mendadak rasanya seolah tanpa sendi.
Aku bertanya-tanya apa yang terjadi pada Troll-Esmerides itu. Tak ada yang kuingat selain kilatan cahaya terang yang membutakan, dan sesuatu yang menghantam punggungku. Aku menatap pergelangan kaki kiriku. Lukanya sudah sembuh. Aku merasa seperti pernah mengalami penyembuhan secepat ini sebelumnya—tapi sekalinya aku berusaha berpikir, tengkorak kepalaku rasanya bakal rontok.
Aku memandang ke depan. Di kursi supir, aku bisa melihat rambut cokelat gelap berantakan ayahku, dan di sebelahnya, aku bisa mengenali rambut hitam mengilat yang tidak asing—Vooir.
Kepalaku diaduk-aduk jutaan pertanyaan, tapi yang bisa kukuak adalah, “Sudah berapa lama ... aku pingsan?”
Aku yakin suaraku lebih mirip embikan domba dibanding suara manusia normal, tapi ayahku tetap menoleh. Dia kelihatan lega. Aku bisa melihat lebih banyak keriput muncul di wajahnya. Dia tampak beberapa lipat lebih tua dibanding terakhir kali aku melihatnya. “Oh, Leon. Kau sudah bangun? Syukurlah. Ternyata benda itu bekerja.” Dia menatap arlojinya. “Kau pingsan selama—eh, beberapa jam.”
Vooir menyela. “Lebih tepatnya, delapan jam tiga puluh dua menit,” koreksinya.
“Oh, terima kasih, Nak,” kata ayahku. Dia mengusap wajahnya. “Akhir-akhir ini aku tidak bisa fokus.”
Aku melirik ayahku dan Vooir bergantian dengan gugup. Mereka kelihatan ... akrab. Maksudku, seakrab mungkin yang bisa dilakukan manusia dan alien. Jika mereka bisa seakrab ini, apakah Vooir sudah menceritakan semuanya? Tapi kenapa ayahku tidak bertingkah—tahulah, tindakan normal manusia saat tahu alien itu nyata dan kita semua bakal musnah; menjerit, pingsan di lantai, kabur dengan taksi, atau mengunci kami rapat-rapat di rumah sakit jiwa dengan sekotak krayon.
“Jadi ... eh, kalian sudah saling mengenal?” tanyaku, meski suaraku lebih mirip decitan bebek karet.
Vooir menoleh ke belakang. Matanya sebiru langit. “Aku sudah menjelaskan segalanya pada ayahmu,” katanya. “Kewajiban Dasar Pengawalan Militer.”
“Eh ... dia percaya, kan?” tanyaku dengan berhati-hati. Mungkin ayahku sebetulnya berencana memasukkan kami ke rumah sakit jiwa, jika dia bisa setenang itu. Atau Vooir telah menceritakan cerita karangan yang cukup meyakinkan. Tidak setiap harinya kau menemukan putramu sekarat setelah dihajar troll.
Vooir tampak ingin menjawab, tapi ayahku lebih dulu berdeham. “Aku bisa mendengar kalian berdua, tahu,” tegurnya tajam. Sebelum aku bisa beralasan, dia mengembuskan napas. “Awalnya kupikir kau mati, Leon. Kau terkapar di tanah, tak sadarkan diri. Aku nyaris menumpahkan setangki bensin. Untungnya ada Vooir di sebelahmu, jika tidak, mungkin kau tidak akan bisa berjalan lagi.”
Aku menggerakan pergelangan kakiku. Lukanya benar-benar sembuh, mulus tanpa bekas. Mungkin Vooir menggunakan cairan aneh itu lagi, batinku.
Ayahku menggelengkan kepalanya, kelihatan frustasi. “Aku tahu ini akan terjadi, tapi tidak—tidak pernah kupikir putraku sendiri yang menerima takdir itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...