VOOIR MENGHELA NAPAS, dan Ned tampak ingin bersin.
“Senang mendengarnya,” kata Vooir.
Ned tersenyum lebar, hidungnya memerah seperti badut. ”Nah, itu baru sobatku—”
“Ned!” panggil Craig di samping Bentley-nya. “Dengar-dengar kalian bakal pergi?”
Ned meloncat ke atas seperti ditikam “Oh—eh ....” gumamnya gelagapan. Ia membersit ingus. “Aku lupa belum memberi tahunya.”
“Tidak masalah, Nak,” kata ayahku, beranjak dari van dan menepuk bahu Ned. “Akan kuurus ayahmu. Dia percaya kata-kata ilmuwan, kan?” Ayah mengedipkan matanya—dan aku langsung tahu dia bakal berbohong. Dia berjalan mendekati Craig, dan aku berharap kecerdasan ayahku cukup untuk mengelabui seorang profesor Harvard. Tapi kalau itu kenyataannya, maka aku memang tidak mendapat jatah kecerdasan apa pun dari ayahku, yang membuatku agak kecewa.
Mereka bercakap-cakap, dan aku berusaha untuk berpikir positif—meski hasilnya gagal total. Mungkin cuma imajinasiku, tapi aku merasa seperti Craig sudah mengetahui segalanya. Caranya terus menatap kami sementara ayahku bicara terasa aneh. Kutepis pemikiran itu jauh-jauh—untuk seribu kalinya, tak ada satu pun profesor Harvard yang percaya pada dongeng soal monster-monster mematikan dan akhir dunia. Namun aku kembali teringat juga tak ada satu pun profesor Harvard yang membawa-bawa senapan atau mengenakan sandal tidur kelinci merah muda.
Saat ayahku kembali, aku bertanya padanya apa yang dia katakan pada ayah Ned. “Simpel,” katanya. “Ayah hanya bilang kalian akan dikirim ke sekolah asrama di Atlanta sebagai murid sementara sampai New York pulih.”
Ned mengerjap-ngerjap. “Itu ... cerdas,” gumamnya. “Ayahmu memang ilmuwan,” bisiknya padaku.
Perlahan-lahan senyumku merekah. “Aku tahu,” kataku, tiba-tiba merasa bangga. Aku menatap ayahku, yang juga memandangku lekat-lekat, seolah memberitahuku kalau dia percaya aku dapat menyelesaikan semuanya. Aku juga bisa melihat ibuku, terduduk di van dengan wajah menunduk dan mata sembab. Perasaan mengaduk-aduk menyeruak di dadaku. Pada akhirnya, kami akan berpisah juga, pikirku.
Vooir berdeham, memecah keheningan. “Rogeid mengirimiku pesan. Dia sudah sampai di sini, kalian bisa—”
“Yeah,” desahku. “Pergi, kan?”
“Oh ... benar.” Ned kedengaran tidak rela. Ia memandang ayahnya yang melambai-lambaikan tangan. Ned menyedot ingus, hidungnya kini persis tomat ceri. “Rasanya agak sedih, ya?”
“Anak-Anak,” ayahku menyela. “Kalian tak punya waktu banyak. Pergilah. Kami akan baik-baik saja.”
“Ayahmu benar, Redwine,” kata Vooir. “Waktu kita terbatas.”
“Aku tahu,” akuku. Aku melirik ibuku lagi, yang masih terduduk di van. Dia terlihat putus asa. Rasa tak rela merayapiku seolah mengikat pergelangan kakiku pada roda van. “Tapi ... sedikit salam perpisahan nggak akan sakit, kan?”
Untuk sesaat, Vooir kelihatan ragu untuk menjawab, tapi kemudian dia kembali pada wajah kakunya yang biasa. “Kurasa begitu.” Nada suaranya begitu lembut sehingga kupikir Vooir sedang tersenyum. “Pergilah, Redwine. Ambil waktumu.”
Aku langsung berlari menuju ayahku, merentangkan tanganku lebar-lebar dan memeluknya. Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena aku tak bisa menahan air mataku. “Aku akan kembali, Yah. Aku janji,” isakku.
“Ya,” kata ayahku lemah, suaranya bergetar. “Dan kita akan bersenang-senang lagi. Seperti dulu, sebagai keluarga utuh. Selalu.”
Aku melepaskan pelukanku. Aku bisa merasakan seluruh wajahku memerah. Barangkali hidungku lebih merah dari hidung Ned. Aku menyedot ingusku dan terisak seperti bayi. Aku baru saja ingin menyinggung soal penampilanku yang sama sekali tidak keren, hingga aku melihat ibuku bersusah payah keluar dari van.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...