AKU TIDAK DAPAT menghentikan Ned.
Kami berlari menyusuri salju, angin dingin melecut-lecuti wajah kami, dan meski pakaianku dapat menahan cuaca ekstrem, gigiku terus bergemeletuk.
Aku mengikuti langkah-langkah Ned, menyeruak di antara orang-orang, menabrak segala hal yang ada di depanku. Aku sempat berhenti sebentar untuk mengambil napas, tapi Ned bahkan tidak menoleh untuk memastikan seberapa jauhnya kami.
Aku tak tahu apa yang merasukinya. Ned bukan orang yang suka memperlihatkan kalau dia marah. Terakhir kali aku melihatnya semarah itu adalah ketika Dieter Beck tanpa sengaja menghilangkan salah satu koleksi film Star Wars-nya. Yang jelas, dia sama sekali tidak kelihatan senang.
Langit mulai menggelap. Arak-arakan awan bergemuruh di cakrawala. Aku bisa melihat amfiteater raksasa Rot di kejauhan, lalu kami akhirnya memasuki Distrik Gunn. Orang-orang berbaju compang-camping memandangi kami dengan kebingungan. Beberapa menit kemudian, kami sampai di Pabrik.
Ned berhenti. Tangannya gemetar. Mungkin dia ragu, atau ledakan emosi memenuhi kepalanya. Aku menunggunya melalukan sesuatu, tapi pintu sudah terbuka duluan.
Itu Lyos. Dia tengah mengangkat sekarung besar sampah sebelum menatap kami berdua dengan kebingungan. “Sedang apa kalian di sini?”
“Aku perlu bicara,” Ned akhirnya berkata, meski bibirnya sedikit gemetar. “Kepada kalian. Semuanya.”
Lyos tampak ragu, tapi akhirnya dia menghindar dari pintu. Sepertinya dia punya banyak pertanyaan, tapi sebelum dia sempat mengutarakannya, Ned sudah melangkah masuk duluan.
Dia berdiri di depan para pekerja. Mereka berhenti melakukan pekerjaan mereka dan menatapnya dengan penasaran. Ned kelihatan gugup—dia selalu gugup kalau harus bicara di depan kelas—meski dia tetap mengeluarkan buku tebal Tria dan Rym Menurut Catatan Sejarah. Namun selagi dia berdeham—Lyos berseru, “Apa yang mau kausampaikan?”
Dia sudah membuang karung sampahnya, dan dia menatap Ned dan buku itu dengan curiga. “Jangan bilang ... kau ....”
“Ya,” kata Ned penuh keyakinan. “Aku berhasil.”
Semua orang berbisik-bisik.
“Yang terjadi seratus tahun lalu,” kata Lyos tak percaya, “kau menemukannya?”
Ned menyerahkan buku itu padanya. “Halaman empat ratus lima. Kau bisa baca sendiri, kalau kau ... tidak percaya.”
Lyos mengambil buku itu dengan ragu-ragu. Selama beberapa saat kesunyian yang canggung, ia membaca setiap kata dalam halaman-halamannya, dahinya berkerut makin dalam semakin waktu berlalu. Kemudian, dia menutup buku itu keras-keras sampai suaranya bergema di seluruh ruangan.
“Terima kasih, Ned,” katanya, tapi dia tidak kelihatan terlalu senang. “Tapi untuk apa ini?”
Ned tampak terkejut. “Apa maksudmu? Dengan ini kalian bisa membuktikan kalau—”
“Kalau kami sudah lupa cara menyihir?” sela Lyos dengan suara dingin. “Fakta ini nggak mengubah apa-apa, Ned. Apakah menurutmu ada orang yang mau mendengar cerita ini? Menurutmu, ada seorang Tivarr yang bakal percaya dengan omong kosong ini, yang dengan susah payah mereka sembunyikan selama seratus tahun?”
Suaranya meledak di seisi ruangan.
Ned menggigiti bibirnya, seolah berusaha menelan bahwa yang dikatakan Lyos barangkali benar. “Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya ingin kalian—kalian—”
“Lupakan saja.” Lyos menyerahkan buku itu ke Ned sambil membuang muka. “Kami nggak butuh bantuanmu. Menurutmu kami orang lemah yang perlu diselamatkan? Kami telah bertahan seperti ini sepanjang yang kuingat. Buku ini bukan sembarang buku, kan? Terima kasih, tapi lebih baik jangan buat masalah ke dirimu sendiri.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...