UJUNG TEBING yang kami pandang bukanlah yang terlukis di peta. Tak ada bola kristal warna merah, tak ada pusaka, hanya hamparan hutan di bawah yang berkelok-kelok—dan kabut dingin yang suram, yang menyebar di udara membekukan kulitku.
Kami bukan menyelamatkan dunia. Kami gagal.
Aku membenamkan tubuhku di salju. “Apa yang telah kita lakukan?” aku terisak. “Kenapa tak ada apa-apa di sana?”
Hanya terdengar desir angin. Tentu saja tak ada siapa pun yang punya jawaban. Aku menatap ujung tebing, berharap ada sesuatu yang muncul di sana, tapi yang terlihat hanyalah hamparan salju putih yang kosong.
“T-tapi kita masih punya waktu enam hari lagi!” Ned terbata-bata, berusaha tersenyum meski wajahnya pucat. “Ini bukan masalah besar, lihat, kan? Enam hari itu waktu yang cukup lama. Ini belum berakhir.”
“Tapi ke mana kita harus pergi?” kataku, merasa lebih putus asa daripada sebelumnya. “Petanya sudah hancur. Gunung Vlodmir terlalu luas, dan para Esmerides pasti akan membunuh kita.”
Ned berusaha tampak ceria, tapi wajahnya memucat pelan-pelan. Aku berusaha berdiri, kakiku goyah. Di sisi kiri kami terdapat gua yang besar, dengan batu-batu vulkanis hitam bergerigi sebagai tembok, satu-satunya hal yang terlukis akurat di peta. Dan satu-satunya tempat kami untuk pergi.
“Kita beristirahat sebentar,” kata Vooir dingin, seakan-akan suaranya membeku menjadi es. “Kita sudah sampai sejauh ini.”
Kami berjalan memasuki gua. Permukaannya berwarna hitam yang berdenyar oleh warna keunguan. Lantainya ditumbuhi rerumputan hijau dan bunga-bunga kuning, tapi kami terlalu lelah dan putus asa untuk menyadari itu. Vooir menyalakan gelangnya untuk kami ketika cahaya di luar meredup. Kami mengeluarkan kantong-kantong tidur dan berusaha terbaring dengan tidak nyaman.
Setelah lima menit, aku kembali terbangun karena frustasi. Langit sore yang jingga memantulkan cahaya kekuningan di permukaan gua. Kalau aku sedang tidak dalam keadaan hancur berkeping-keping, aku bakal berbaring memandangi denyar warna-warni itu. Tapi ini bukan saatnya. Kami telah gagal. Aku perlu sesuatu untuk diledakkan kalau tak mendapat jawaban.
“Apa yang salah dengan perjalanan kita?” tanyaku, menoleh kepada Ned dan Vooir. Mereka terbaring di kantong tidur, meskipun mata mereka masih terbuka lebar-lebar. “Kenapa ... apa yang terjadi pada pusaka itu?”
Vooir bergerak-gerak gelisah, lalu akhirnya bangkit. “Aku benar-benar tidak tahu, Leon. Aku mencoba mencari bantuan kepada Kekaisaran, tetapi ... mereka juga sama sekali tidak tahu. Aku tidak bisa memanggil bala bantuan asalkan sesuatu yang benar-benar parah terjadi.”
“Tapi ini kan kejadian buruk!” seruku. “Kita sudah menempuh tiga hari perjalanan, dan ternyata pusaka yang kita cari menghilang! Apa menurut mereka itu bukan peristiwa buruk?”
Vooir menggeleng. “Bukan pusakanya,” katanya. “Tapi kau.”
Dan lagi-lagi, aku mendapati segalanya berakhir padaku.
“Aku?” tanyaku. “Tapi ... tapi itu nggak masuk akal.”
“Bagi Kekaisaran, kehilangan satu atau dua Dunia bukanlah masalah besar,” kata Vooir muram. “Asalkan para Takdir Araez selamat, itu masih bisa terjadi.”
“Itu?”
“Perang,” ujarnya. “Perang besar melawan Esmerides. Setelah semua Takdir Araez berkumpul, Kekaisaran akan mengumumkan perang terhadap kaum Esmerides, termasuk Titaneos, dan ... melihat siapakah yang akan menang.”
Aku ternganga. Ini benar-benar bukan jenis kejadian yang kuinginkan. Perang? Maksudku, aku tahu kalau Esmerides berencana memusnahkan kami, tapi perang terhadap para Esmerides secara langsung? Itu mustahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...