17 - (I)

45 16 0
                                    

NED BERADA di dalam Ruang Dewan untuk interogasi.

Aku bisa mendengar suaranya bergema di lobi, membentak, “Bukan salahku!” kemudian, “Aku tidak tahu bagaimana caranya!” yang dibalas dengan geraman-geraman menuding, sementara empat perajurit menahanku di ambang pintu, menjagaku agar tak berani-beraninya mencoba kabur. Langit kelabu menaungi kami, dan cahaya kekuningan menyebar melalui awan-awan.

Menit-menit menggelisahkan berlalu, dan aku mulai bertanya-tanya apakah Ned masih dalam keadaan utuh atau tidak, hingga aku melihatnya terseok-seok menuruni tangga Tahun Keempat dengan merana. Aku hampir kabur ke sana dan memeluknya sampai napasnya habis, tapi para prajurit di sisiku menarikku ke belakang. Mereka memeriksa Ned, seolah-olah memastikan dia punya beberapa barang ilegal di sakunya atau tidak, lalu mereka melepaskan kami untuk pulang.

Aku takut menanyakan banyak hal karena dia tampak sepucat mayat. Kantung matanya hitam, rambut merahnya entah bagaimana memucat, dan gerak-geriknya seperti vampir di siang hari.

Akhirnya aku menanyakan apakah interogasinya berjalan lancar atau tidak.

Dia tidak kelihatan terlalu gembira. “Mereka bilang aku boleh berkeliaran sekolah asalkan aku tak terlalu menonjol.”

“Jadi ... kau masih diizinkan jadi murid?”

“Kurang lebih,” katanya. Dia terdiam sebentar, kemudian, “Omong-omong, guru Persiapan Ujian Besar kita agak unik, ya?”

Aku menatapnya. “Kenapa?”

“Aku nggak tahu dia bakal membelaku seperti itu,” kata Ned. “Padahal Dewan lain kelihatan ingin sekali membunuhku.”

* * *

Pagi harinya, Ned seakan jadi selebriti.

Ketika kami memasuki koridor depan sekolah, hampir semua anak mengerumuni Ned, menenggelamkannya dalam lautan berjubah hitam, sementara dia berusaha neronta-ronta keluar dengan kesakitan. Saat kami berhasil lepas dan melintasi lobi, semua orang memandang kami sambil terkesiap, “Waaaaah” atau “Ooooooh” seolah-olah mereka melihat dua badut sirkus yang kabur dari karnaval.

“Kita harus cepat ke auditorium,” kata Ned dengan tubuh menggigil. “Aku nggak tahan diperlakukan begini lebih lama lagi.”

“Setuju,” angguku. “Saatnya berhenti jadi atraksi kebun binatang.”

Di auditorium, segalanya lebih tenang. Tempat duduk penonton diisi oleh anak-anak dari Tahun Kedua sampai Keempat, sementara murid Tahun Pertama berbaris di belakang panggung, menunggu giliran masing-masing untuk berpidato. Di seberang tempat duduk, aku melihat Kyn, tersandar pada dinding marmer dengan resah. Aku berusaha mendekatinya, tapi begitu dia melihat kami, dia membuang muka dan pergi.

Aku bertanya-tanya apa artinya itu.

Para juri berada di deretan depan tempat duduk penonton, sibuk dengan segunung catatan perkamen, bersama Gyda di tengah-tengah mereka. Kami duduk di belakang dengan para murid lain. Anak-anak tahun pertama terlalu gugup sehingga mereka tanpa sengaja melakukan aksi-aksi konyol. Mereka didandani dengan pakaian berlengan panjang penuh bulu, wajah coret moreng, anting-anting, dan celana longgar yang terlalu kebesaran. Mereka terlihat seperti anak-anak hippie di malam halloween. Kalau mereka mengentuk pintuku, aku bakal menyebarkan segenggam permen dengan iba.

Segera setelah giliran mereka usai, anak-anak itu berkumpul di podium dan memeragakan tanda hormat. Para penonton bergemuruh dan bersorak sorai. Murid Tahun Kedua dipanggil menuju bagian belakang panggung dan kami pergi.

Tempat itu sempit dan lengket. Anak-anak diberi kostum oleh para petugas yang berjalan ke sana kemari. Seorang wanita berwajah ramah mendudukanku di depan cermin dan mendandaniku dengan paksa. Aku memberontak karena ini memalukan, tapi kekuatan genggaman wanita ini sekuat atlet gulat profesional.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang