11 - (I)

115 27 5
                                    

NAH, BIASANYA aku sudah terbiasa dengan luka fisik dan sebagainya, tapi saat wajahmu berada di tumpukan salju sedingin kurang dari 10 derajat Celcius, satu-satunya yang bisa kuucapkan adalah, “Eeeeeeeh?”

Sepatu bot berderap di depanku, dan saat itu aku mengira aku sudah gila—karena tak ada satu pun sepatu bot di dunia yang bisa bicara—tapi kemudian kulihat tangan pucat yang diulurkan. Rupanya Vooir. “Kita berada di Gua Frid. Salah satu Situs Exatra di Erdeos. Cepat berdiri, nanti kau bisa sakit.”

Aku mendongak dan meraih tangannya. “Gua—apa?” tanyaku, menggeleng-gelengkan kepala dari tumpukan salju seperti anjing yang kebasahan.

Aku mendongak ke atas. Tak ada yang spesial dari gua ini, selain permukaannya yang berkilau keunguan dan lembing-lembing es yang menggantung di langit dengan cara yang kurang bersahabat. Luasnya kurang lebih dua puluh meter, yang artinya tak akan ada masalah soal ruangan,  tapi saat aku menoleh ke seberang, aku melihat Ned, muntah-muntah tak terkendali di sisi gua.

Aku berusaha tidak memperhatikannya. “Jadi—em, ini Erdeos?”

“Nah, nah, entah benturan tadi memengaruhi kepalamu atau apa, tapi lihatlah ke depan, Nak.” kata Rogeid, mendesing sambil membersihkan butiran-butiran salju dari tubuhnya.

Kalau boleh jujur, aku tidak begitu memercayai Rogeid setelah percakapan sengitnya dengan Vooir, tapi aku tetap menoleh ke depan dan terkesiap, “Wow.”

Di depan, ratusan flora fauna yang aneh berjajar dengan cahaya redup. Seandainya aku bisa melihat lebih dekat dan main tebak-tebakan National Geographic sebentar, tapi ada terlalu banyak benda yang sulit dicerna. Misal saja dedaunan merah-biru yang berbentuk seperti tangan manusia, kadal hitam-biru berekor sepanjang ular dengan ujung kemerahan seperti api, burung-burung merah berjambul aneh yang mengintip di pohon dengan batang memilin, dan berbagai tumbuhan warna-warni yang menusuk mata. Warna-warna itu terlalu mencolok sehingga tak cocok dengan salju, seperti buatan anak lima tahun yang menoreh cat pada kanvas dengan asal-asalan.

“Jadi ... ini ... Erdeos,” gumamku.

“Yah, yah, planet berpenghuni terkecil dari Lima Dunia. Mereka sedang mengalami musim dingin parah,” Rogeid mendengus dan melempar setumpuk salju dari kepala nyaris-botaknya. “Sebetulnya mereka bukan daerah yang dingin, tapi mereka sering mendapat cuaca ekstrim akhir-akhir ini. Nah, ayo, saatnya kita keluar dari gua terkutuk ini—”

“M-maaf?” Ned mengerang, mengelap setetes muntahan dari dagunya. “Aku masih belum selesai dengan urusan—”

Lalu dia memuntahkan seember cairan menjijikan ke tanah.

Aku berjengit. “Eh ... sepertinya bakal butuh waktu lama.”

Rogeid mengernyitkan hidungnya dengan tidak suka. “Warga sipil. Bukankah aku telah memperingatkanmu, Nona Elledoire?”

“Kurasa bukan cuma warga sipil yang bisa muntah,” tukas Vooir dingin.

Setelah Ned selesai dengan urusan lambungnya yang menyiksa, kami akhirnya beranjak keluar dari gua. Angin menerpa wajahku seperti tombak es, dan salju membenamkan kakiku sampai nyaris tak kelihatan. Di cuaca begini, sebagai bocah Amerika, seharusnya aku sudah menggigil setengah mati dan menggigiti semua kuku jemariku sampai habis. Namun yang kurasakan hanyalah wajah yang seakan diterpa semut-semut tak kasatmata dan angin yang membelai rambutku. Aku bertanya-tanya apakah ini ada hubungannya dengan pakaian hitam rancangan Rogeid. Sulit mengakuinya, tapi pakaian ini lumayan juga.

Saat kami melewati beberapa pohon besar memilin yang ditutupi salju—Ned hampir mati karena tak sengaja menabrak tumbuhan bertotol-totol merah yang mengeluarkan asap beracun—Rogeid melempari kami bertiga pakaian berbulu aneh dari kursi piringannya.“Kita tak bisa terlihat dengan baju itu,” katanya, sebelum menutupi tubuhnya dengan kain berbulu panjang yang membuatnya terlihat seperti pria tua setinggi tujuh kaki.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang