Omong-omong, jumlah kata di bab ini jauh lebih sedikit dibanding bab-bab sebelumnya. Jadi, jangan heran kalau terasa singkat, ya!
***NED PATTINSON adalah jagoan video game, dan dia cukup hebat untuk bisa meracuniku. Pokoknya, kalau kau pernah hidup di tahun 2000-an, orang ini adalah paket lengkap kutu buku tipikal, dengan sedikit bumbu kemewahan dan IQ di atas rata-rata.
Komplek apartemenku merupakan komplek terlusuh di pojokan jalan-jalan kecil kota New York. Ruangannya sempit dan menyesakkan, bahkan kami tak punya kompor dan ruang makan. Setiap satu bulan air kami akan surut dan butuh seminggu untuk petugas saluran air datang, sarang laba-laba bermunculan tiap musim panas, dan kau bisa membayangkan hawanya dengan berendam air hangat di tengah-tengah gurun Sahara.
Pada pertama kalinya sobat Skotlandiaku mampir ke apartemenku, aku pikir dia bakal menjerit jijik dan lari terbirit-birit menuju mobil taksi. Namun untunglah Ned tidak beranggapan begitu, justru anehnya, dia menganggap keadaan tempat tinggalku lumayan menarik.
Ned mengambil kotak kardus di pojokan. Isinya adalah kaset-kaset video game dan Blu-ray Star Wars usang. Ibunya suka komplain tentang banyaknya benda-benda tidak berguna di ruang kerja ayahnya, dan Ned terpaksa harus memindahkan sebagian koleksi favoritnya yang dimiliki sang Ayah.
Aku tak heran, jika Ned yang genius rela membuat nilai-nilai ujiannya pas-pasan demi mendapatkan kehidupan normal, pasti orangtuanya sanggup mengalahkan bos final video game dalam sekali cibiran. Untung saja orangtua Ned tidak terlalu obsesif terhadap nilai-nilainya, bagi mereka SMP Clover cuma sekolah negeri standar yang terlalu bobrok bagi anak genius mereka. Yah, bisa kuakui, mereka tak sepenuhnya salah.
Ned meletakkan kotaknya di atas sofa. “Bagaimana kalau main game yang kutunjukkan di STA?”
Aku mengangguk. “Tentu,” kataku. “Main game yang sama terus-menerus membuatku jenuh.”
Ned memasukkan kasetnya ke konsol. Konsol permainan usang ini milik Ned yang dibawa ke tempatku. Dia kebetulan menemukan konsol ini di salah satu koleksi ayahnya, dan tak bisa memainkannya lagi semenjak naik ke bangku SMP dengan peraturan yang makin ketat.
Kami mulai memainkan permainannya. Suara gemeretak tombol-tombol kontroler terdengar sesaat permainan dimulai.
“Omong-omong,” kata Ned, “tadi aku berpapasan sama cewek tetangga dari pintu seberang.”
Mataku masih melekat pada layar televisi. Skorku unggul tiga poin. “Oh,” kataku. “Mungkin tetangga baru, memangnya kenapa?”
“Dia cewek seumuran kita, pakaiannya serba hitam. Orang Asia—kayaknya, matanya agak aneh ...”
Tulisan CONGRATULATIONS besar terpampang di layar. “Aneh?” tanyaku.
“Matanya biru terang, mungkin dia blasteran atau semacamnya, atau pakai lensa kontak, yang aku ragukan karena matanya tampak benar-benar nyata,” ujar Ned.
Aku tidak menjawab, perhatianku melekat sepenuhnya pada layar televisi. Skor Ned lebih unggul. Bagaimana bisa dia ngomong terus dan tetap memenangkan permainan? Kurasa Ned memang penuh keajaiban.
Ned masih terus mengoceh. “Kayaknya kau perlu sekali-sekali menyapa, yah, meski dia kelihatan nggak ramah. Bisa saja dia semacam selebriti, auranya ... beda.”
“Oh,” kataku, meski yang kutangkap cuma cewek Asia bermata biru aneh jadi tetanggaku. Ned meletakkan kontrolernya, merebahkan kepalanya di sofa dengan wajah puas. Rasanya aku ingin melenyapkan cengiran congkak di mukanya dengan sedikit hajaran. Tapi ini Ned, dan aku tidak mau membuatnya koma tiga minggu di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...