30 - END

114 18 0
                                    

KEJADIANNYA BEGINI: di gua saat itu, Vooir berhasil meyakinkan Kekaisaran bahwa aku menghilang dan berada di dalam bahaya besar. Tak ada yang mencurigainya. Prajurit-prajurit bertongkat emas muncul sehari sesudah itu. Dia tidak mengkhianatiku, meski aku masih ketakutan setengah mati mengingat bagaimana peristiwa itu terjadi: matanya yang berkilat keji, benda tajam yang siap menembus dadaku.

“Setidaknya beri tahu aku dulu,” kataku, meggigil. “Aku nyaris pingsan saat kau melakukan itu.”

Vooir tersipu malu, dan kupikir ini pertama kalinya dia terlihat seperti gadis dua belas tahun biasa. “Maafkan aku,” katanya. “Kupikir akan lebih meyakinkan kalau kau benar-benar percaya aku berkhianat.”

Kami memasuki hutan, melalui perjalanan kembali ke Gua Frid. Rasanya aneh melihat hutan yang sama terlihat benar-benar berbeda—pepohonan bebas dari es dan salju, burung-burung bersiul dari dedaunan, dan langit berwarna biru cerah tanpa awan. Aku sudah terbiasa melihat segalanya dengan warna putih sehingga pemandangan bersinar tampak nyaris tak natural, seakan-akan semuanya cuma lukisan yang dibuat seniman berbakat luar biasa.

Ketika kami tiba, di sana sudah ada Rogeid, masih mengenakan mantel bulu lebat meskipun musim dingin telah berakhir. Kurasa itu untuk menutupi kursi piringannya.

“Astaga,” keluhnya dengan nada jengkel. “Hampir saja kukira kalian gagal.”

“Tapi kami berhasil, kan?” kataku. “Kita hanya perlu pergi ke New York, dan semuanya selesai.”

Rogeid mengetuk-ngetuk tombol kursi piringannya yang tersembunyi. “Sayangnya, kupikir tidak begitu.”

Dia mendongak, menatap Vooir dengan raut wajah mencemooh. “Nona Elledoire, ah ...” senyumnya melebar, “sepertinya Anda berhasil menyelesaikan misi pertama Anda, ya?”

Vooir mengernyit. “Apa yang sebenarnya perlu kaukatakan, Rogeid?”

“Kurasa ....” sebuah desis keluar dari bagian kursinya, seperti matras tiup yang kempes, “ada beberapa masalah yang perlu kita bicarakan.”

Bunyi yang terdengar dari kursi piringan adalah suara Vooir dan aku.

Itu merupakan rekaman suara tepat ketika Vooir mengancamku di puncak Gunung Krostt, berpura-pura mengkhianatiku dan menggertak soal menikamku. Aku tahu bahwa semua itu hanyalah sandiwara ... tapi barangkali bukan untuk Regoid.

Pria tua itu menyeringai. “Cukup berani juga ya, Elledoire?”

Wajah Vooir berubah semerah api. Dia melangkah ke arah Rogeid, kelihatan ingin menghancurkannya jadi bubur. “Apa-apaan ini, Rogeid? Apa yang telah kaulakukan?”

“Kau tahu apa pastinya ini,” kata si pria tua. “Para Elledoire makhluk-makhluk licik.”

“Tapi ini ilegal! Penyadap suara selalu bekerja meskipun mesinnya dimatikan. Misi besar akan hancur karenanya!” Vooir menggertak, giginya bergemeletuk karena ledakan amarah. “Kau tidak bisa melakukan ini kepada—”

“Oh?” Si kakek tua tersenyum mengejek. “Tapi yang menginginkan ini bukan aku.”

Rona di wajah Vooir menghilang. Dia mematung, tubuhnya gemetaran oleh rasa takut. Aku belum pernah melihatnya setakut itu sebelumnya, bahkan ketika kami harus menghadapi seorang manusia serigala.

“Kau punya seorang ayah yang hebat,” kata Rogeid, kembali mengutak-atik tombol di kursinya. “Selalu memperhatikan putrinya.”

“Kumohon—” pintanya gemetar. Dia jatuh ke lututnya di tanah, wajahnya bersimbah air mata. “Tolong, Rogeid, jangan lakukan ini padaku.”

“Kau tahu betul aku setia kepada siapa.” Rogeid menarik Vooir ke dalam gua. “Kau harus ikut denganku, Elledoire.”

“Apa? Tidak!” Aku menarik Vooir kembali. Bahunya gemetar dan kulitnya dingin, nyaris seperti aku memegang es. Amarah menggelegak di urat nadiku. “Kau tidak bisa melakukan ini! Yang Vooir perbuat mungkin terlihat salah, tapi dia cuma berusaha memanggil bantuan. Itu satu-satunya cara!”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang