23

24 13 0
                                    

“PERTAMA-TAMA, jangan salah paham,” kata sosok di atas singgasana. “Aku bukan seekor singa sungguhan, ini hanya wujud yang kupilih.”

Dia punya bulu-bulu putih yang bersinar keperakan, seperti rembulan. Matanya kuning seperti nyala lampu mobil. Panjangnya pasti enam meter lebih, karena kalau dia seukuran singa biasa, singgasana itu jauh terlalu besar untuknya. Aku masih bertanya-tanya kenapa benda itu belum roboh, tapi segera kusadari dia adalah Araez Exatra. Aku tidak pernah membayangkan Araez sebagai seekor hewan, dan pemandangan ini terlalu sulit untuk dicerna.

Aku menunjuknya dengan gemetar. “Kau Araez Exatra? Maksudku, Araez Exatra yang itu? Sungguh?”

“Menurutmu siapa lagi yang akan menjawab doamu?” kata singa raksasa itu, memamerkan gigi-gigi taringnya yang berkilau. Dia mondar-mandir di atas singgasananya, membusungkan dada berbulunya yang putih bersinar. “Tentu saja itu aku! Karena sepertinya aku sudah terlalu lama mengabaikanmu, jadi kupikir ada baiknya aku membawamu ke sini.”

Dia mengangkat cakar depannya tinggi-tinggi seperti seorang pesulap. “Kuperkenalkan, ini Gunung Vlodmir.”

Secara ajaib, cahaya matahari berdenyar menerangi dinding-dinding. Aku mendongak. Terdapat mural-mural yang terlukis di gua; seorang anak berdiri di bukit, galaksi berbintang yang berwarna biru dan ungu, kemudian ... darah. Sesuatu yang berwarna merah dan mengerikan terlukis di mural terakhir. Aku memalingkan wajahku ketika aku melihatnya.

“Ah, tempat tinggal lamaku. Sungguh kenangan lama,” kata Araez, seolah-olah lukisan mengerikan itu memberinya kenangan bagus.

“Kau membawaku ke Gunung Vlodmir?” tanyaku. “Bukannya tempat ini sudah hancur?”

“Secara fisik, iya.” Dia menunjuk mural yang terakhir yang mengerikan; gambar seorang lelaki ... yang kepalanya dihancurkan berkeping-keping. Aku heran kenapa dia tidak terlihat ketakutan memandang lukisan itu. “Setelah aku dieksekusi, tempat ini dihancurkan oleh para Esmerides. Tapi Gunung Vlodmir sudah menjadi bagian diriku. Tempat ini masih ada sementara aku ada—sekarat, tapi masih hidup.”

Aku mengamati gambar itu untuk pertama kalinya. Darah berceceran pada singgasana batu yang sama yang sekarang diduduki singa itu, yang menjelaskan kenapa ada retakan di tengah-tengahnya. Aku mengamati mural-mural lain di sekitar: seorang anak lelaki berkulit sewarna zaitun berlarian di atas bukit, cahaya terang membasuh dirinya dan membawanya pergi ke langit berbintang. Kemudian dia berubah menjadi seekor singa jantan berkilauan di cakrawala, dan berakhir dengan dirinya dibunuh pada singgasana batu tempat tinggalnya, membentuk sebuah cerita yang tragis. Tanganku berkeringat memandang mural-mural itu.

“Apakah itu menceritakan hidup Anda?” tanyaku.

“Akhir yang cukup sedih, ya?” tanyanya, menggunakan cakar depannya untuk mengelus lukisan berdarah mengerikan itu. “Tapi aku masih belum mati, entah mereka sengaja melepaskanku atau aku selamat. Aku tak begitu ingat dengan kejadian yang satu itu.” Dia menatap mural-muralnya dengan mata berbinar. “Ah, nostalgia. Rindu rasanya menjadi anak lelaki yang bebas.”

“Kau dulunya manusia,” kataku, masih terluka bahwa selama ini dia menyembunyikan fakta itu. “Kenapa kau tidak memberi tahu apa-apa kepada kami?”

“Menurutmu?” Dia mencondongkan tubuhnya di atas singgasana, menopang kepalanya sambil menguap. Biasanya para singa terlihat hebat, tapi kali ini dia tampak benar-benar menyebalkan. “Kau pikir perang itu selalu jujur, ya?”

“Tapi itu nggak adil!” seruku, gemetaran. “Aku ... aku nggak ingin melawan manusia—”

“Tipikal makhluk fana,” desahnya. “Dengar, aku dulunya juga seorang manusia. Aku tidak akan menyembunyikan itu lagi. Aku lahir di Aldeoirgh tanpa orang tua, tersembunyi dari orang-orang di Gunung Vlodmir. Kekaisaran di masa itu mencoba mengembalikanku kembali tetapi aku menolak. Kau seharusnya merasa beruntung aku tidak membenci kalian seutuhnya dan berpihak pada Titaneos.”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang