KAMI KEMBALI ke kuil sebelum ada yang menyadari kekacauan yang kami perbuat. Ned terhuyung sambil tersandung-sandung saat kami menyusuri jalan bersalju untuk pulang. Ketika kami memasuki pintu, kami menghabiskan banyak waktu bengong menatapi api unggun.
Di titik ini, aku mulai bertanya-tanya mengapa masuk ke Sekolah seakan jadi andil yang besar. Aku akui, tempatnya lumayan megah, dengan lantai marmer dan plakat emas dan sebagainya, tapi guru-guru di sana lebih cocok berada di rumah sakit jiwa. Kebanyakan dari mereka agak sinting, dan sebagian lainnya mungkin tengah merancang rencana jahat. Tapi yang lebih kukhawatirkan adalah Ned. Dia jadi sering menggumamkan hal-hal seperti; “Lebih baik aku mati daripada keluar”, atau “Hidup ini sangat merana”, dan menyenandungkan sesuatu seperti lagu pemakaman.
Ketika Ned terlihat hendak membakar wajahnya sendiri, Astyr muncul dari tangga. “Wah, wah, kalian sudah pulang?”
Aku mengangguk, tapi tak berkata apa-apa. Perasaan tak enak menjalari leherku. Aku tak yakin apakah Sekolah Tivarr bakal cocok menggantikan latihan-latihan Astyr untuk beberapa hari ke depan. Lalu Dewan Sekolah itu, dan Kyn...
“Kalian kelihatan lesu sekali,” Astyr bergabung bersama kami, membagi-bagikan minuman hangat yang menggelitik indra penciuman seperti cokelat panas. “Apa hari pertama kalian di Sekolah seburuk itu?”
Sangat buruk sampai dikubur hidup-hidup kedengaran lebih asyik, pikirku, tapi aku berkata, “Aku nggak mengerti kenapa Sekolah sepenting itu.”
Kupikir Astyr bakal tersinggung atau marah-marah padaku karena sekolahnya dihina, tapi dia cuma tertawa. “Kalian sadar cukup cepat, ya?”
Ned dan aku memandangnya, bertanya-tanya.
“Ah, ini bisa dingin.” Dia menyodorkan gelas-gelas itu kepada kami secara bergantian. “Nah, nah, minum dulu, Anak-Anak.”
Kami saling menatap, lalu meraihnya dan minum. Kami tak bicara, tapi aku tahu kami tengah memikirkan Sekolah.
Setelah meneguk untuk beberapa saat, Ned mengatakan apa yang selama ini ada di pikiranku, “Anda tahu ada yang aneh dari Sekolah?”
“Ah, yah,” gumamnya resah, dahinya berkerut. “Aku tak pernah menyukai para tetinggi.”
“Apa ... mereka ...” aku menelan ludah, “terobsesi dengan Rym?”
“Terobsesi dengan Rym dalam aspek yang salah,” Astyr mengoreksi. “Kalau kau tanya pendapatku, mereka sama sekali tidak peduli pada Rym.”
Aku dan Ned saling bertatapan. Lalu bagaimana dengan mural-mural itu, patung-patung itu ...?
Api semakin berkobar ketika Astyr mendesah. “Kalau kau belum yakin, coba jelaskan hal-hal yang mereka bicarakan di sana.”
“Rot orang-orang kanibal yang suka menguliti orang,” kataku.
“Darah Rym adalah darah emas,” Ned mendengus.
“Tivarr adalah bangsa mulia,” kataku.
“Dan Gunn nggak berguna karena tak punya sihir,” Ned menggerutu.
“Dan apakah kalian menemukan Rym mengatakannya?” tanya Astyr.
Ned mengernyitkan dahi. “Sepertinya tidak.”
“Jadi kenapa guru-guru di sana menyebutkan hal-hal itu?”
Ned terdiam, kemudian mengangkat kepalanya. “Demi keuntungan mereka sendiri, kan?”
Astyr meraih tongkatnya yang tergeletak di dinding. “Tongkat Grenblar adalah pusaka Rym. Apa kalian tahu apa kegunaan benda ini?”
“Memukuli orang?” aku mengusulkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...