SATU HAL yang kuperhaikan selain bahwa semua orang tampak ketakutan hari itu adalah cuacanya yang dingin.
Erdeos memang sudah dingin semenjak kami datang, dan mungkin juga dingin bertahun-tahun sebelum itu—tetapi hari ini berbeda. Saat itu kami bisa berjalan dengan lancar menembus hutan belantara. Ini? Kau butuh egrang hanya untuk menyeberang jalan. Tria hampir rata dengan hamparan salju putih. Butir-butir es menerjang seperti badai. Dera angin mencabik-cabik pepohonan di tepi-tepi jalan. Tepat di atas kami, matahari benar-benar menghilang di balik kabut.
Musim dingin, pikirku. Tapi aku sama sekali tidak menyukai ide itu. Jika firasatku benar, musim dingin yang parah berarti kiamat hanya tinggal sebentar lagi. Erdeos akan tenggelam dalam salju abadi. Dunia akan hancur. Dan tepat saat itu, Bumi akan meledak berkeping-keping.
Bediri jauh di sana, orang-orang berkumpul di pusat kota, tepat di bawah tugu Rym yang kelihatan sama sekali tak terganggu oleh badai. Di balik dera hujan, para prajurit berbaris dengan kulit sepucat mayat—entah dari mana aku bisa memastikannya ketika kami dikelilingi berkilo-kilometer hamparan salju putih, tapi aku bisa merasakannya, pada pelat-pelat baja di tubuh mereka yang bergemerincing seolah mereka ketakutan. Pada barisan depan, tampak Gyda, Ilyak, dan Astyr—tak bisa kupastikan sedang melakukan apa karena badai menutupi segalanya, tapi kutebak mereka tidak terlalu senang.
Nah, kau pasti bertanya-tanya di mana aku sekarang. Aku tak bisa menyebutkannya keras-keras karena Rot bakal segera datang dan membantai kami, tapi Vooir, Ned, dan aku mengintip bersama di sela-sela gang, sementara seluruh bagian kota dikosongkan dan para warga mengungsi ke tempat aman di belakang hutan.
Kami punya beberapa masalah di pertemuan ini. Yang pertama, kami sudah menunggu selama kira-kira tiga puluh menit—menggigil kedinginan di tengah-tengah salju, tapi pasukan Rot masih tidak terlihat dari sisi mana pun. Maksudku, aku bakal senang andaikan mereka benar-benar tidak jadi berkunjung ke sini—berubah pikiran soal membantai kami semua, yang kedengaran agak ajaib—tapi ketika kami harus menanti-nanti sesuatu, suasananya terasa jauh lebih menyeramkan, seolah-olah kami perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi yang terburuk.
Masalah kedua yang benar-benar mengkhawatirkan, adalah Astyr yang sama sekali tidak memberi tahu kami apa rencananya. Dia cuma membangunkan kami di pagi hari dan menyuruh kami pergi bersama yang lain, berlindung jauh-jauh dari kota ke hutan. Aku tahu aku harus menurutinya ... tapi aku tak bisa pergi. Aku merasa aku harus memastikan segalanya harus berjalan baik-baik saja. Aku mendapat firasat buruk bahwa Astyr menyembunyikan sesuatu dari kami—tapi aku segera menyadari yang kubicarakan adalah Astyr. Dia tidak akan melakukan sesuatu seperti itu.
Pokoknya, kami bertiga sedang berdempet-dempetan di gang sambil menebar pandangan, ketika Ned menyentuh bahuku dan menunjuk ke depan. “Apa menurutmu itu kedengaran ... familier?”
Aku memfokuskan diri pada telingaku dan mendengar lolongan—bukan, raungan, persis seperti yang kudengar di amfiteater waktu itu. Suara derap kaki hewan berkuku belah mengiringinya sementara suara-suara itu mendekat. Bayangan orang-orang di atas hewan besar tampak dari sela-sela dera hujan. Rot, pikirku, dan rasa ngeri mulai menjalari leherku sampai ke ujung.
Lalu mereka pun tiba. Satu tentara Rot penuh berhenti tepat di depan tugu Rym, kuda-banteng mereka mendengus ganas ketika mereka berhenti, baju zirah mereka berbunyi dengan salju-salju yang berjatuhan. Ini jelas-jelas bukan pemandangan yang bagus, mengingat apa yang mereka sebutakn tentang Rym waktu itu—seorang cendekiawan gila yang berubah menjadi penyihir jahat. Tapi melihat dengan sekilas saja, aku sudah tahu siapa sebenarnya yang jahat.
Rot tampak keji, seperti biasanya. Tato-tato merah di sekujur tubuh, wajah liar, pakaian berzirah hitam yang dikelilingi otot-otot, serta topeng pengeras suara yang selalu mereka kenakan. Mereka terlihat seperti binatang liar di tempat penampungan hewan; ganas, tak terkendali, dan diberangus seumur hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...