19 - (II)

23 11 0
                                    

MAYAT ASTYR dilarung sore hari itu.

Kami berkumpul mengelilingi sebuah perahu yang dihiasi bunga-bunga—putih, kuning, merah darah mawar, dengan kelopak-kelopak violet pada permukaannya. Perahu itu dicat warna putih dan merah, kedua ujungnya penuh bulu-bulu burung, dan di sisinya tertoreh sebuah tulisan berwarna hijau: ASTYR, dalam aksara Erdeos yang lebar dan panjang.

Kabut berdenyar di tepian gelap sungai itu, menyeberang melewati permukaan airnya yang berkilau jingga. Orang-orang bermantel gelap berdiri di pesisir sambil memejamkan mata, berdoa. Di sisi batu-batu vulkanis, cahaya matahari tenggelam di ujung sungai yang berkelok-kelok.

Saat aku maju untuk melihat mayatnya dengan lebih jelas, tubuhku gemetar.

“Tidak apa-apa,” kata Vooir, tapi dia terlihat begitu terguncang. “Tidak apa-apa.”

Aku memandang ke depan, menatap sungai panjang yang berkelok di hadapan kami. Airnya mengalir dan beriak, bertabrakan dengan batu-batu es yang menonjol. Aku mengingat saat-saat ketika aku menaiki perahu bersama Ned, berusaha mengalahkan monster dengan Astyr yang menyemangatiku. Kini, tempat itu menjadi kuburannya.

Aku merenung, kemudian cahaya api menyala. Gyda dan Ilyak sedang membakar obor kecil di dekat perahu, tangan mereka mengepal memanjatkan doa.

“Astyr, aku tidak tahu ....” Gyda terisak, tidak seperti dirinya yang biasa. “Aku tidak tahu kau akan berakhir seperti ini ....”

Ilyak menyentuh bahunya untuk menenangkan, tapi dia sendiri kelihatan cukup terguncang. “Tenanglah, Gyda. Ayo, kita segera lakukan ini.”

“Aku tidak tahu kalau dia—” suaranya pecah, “Aku hanya tahu dia berasal dari tempat yang jauh, tapi aku tidak tahu kalau tempat itu Rot—”

Wajahku menggelap. Aku sudah memberi tahu mereka semua hal yang Astyr telah katakan padaku, bahwa dia berasal dari Rot dan pergi ke Tria setelah mengetahui hubungannya dengan Rym. Aku tidak tahu manakah yang lebih mengejutkan mereka; Astyr yang seorang Takdir Araez atau Astyr yang berasal dari Rot, tapi mereka cukup terguncang.

Ned menyentuh bahuku. “Ayo. Kita beri hormat kepada Astyr.”

Kami berjalan menghampiri perahu tempat Astyr terbaring. Mayatnya tertutup kain yang terbuat dari bulu-bulu Fugrel, putih dan merah, dengan kelopak bunga tersebar di permukaannya. Aku bisa melihat secuil jari kaki pucatnya yang tersingkap, dan mendadak aku merasa mual.

“Seharusnya aku bisa menyelamatkannya,” sesalku. “Seharusnya aku berbuat sesuatu.”

Teman-temanku tampak cemas, dan aku tahu keadaanku akhir-akhir ini membuat mereka khawatir. Terakhir kalinya aku melihat wajahku di pantulan sungai, kulitku sepucat kapur, mataku memerah, dan rambutku seakan-akan beruban. Aku ingin mengatakan sesuatu lagi, hanya untuk menenangkan diriku sendiri, tapi ada yang menghentikanku melakukannya.

Api membakar kain kafan yang menyelimuti tubuh kaku itu, melahap bulu-bulunya sampai menjadi abu. Orang-orang terisak sementara para petugas mendorong perahunya mengarungi sungai. Bunga-bunga api bercipratan di langit, bau campuran kamperfuli dan arang berterbangan di udara. Cahaya jingga yang panas mengecil di kejauhan, perlahan-lahan, kemudian lenyap.

Akhirnya aku mengerti.

Astyr mengorbankan dirinya demi aku. Astyr mengorbankan dirinya demi semua orang. Astyr mengorbankan dirinya demi dunia. Dia telah menjalankan tugasnya sebagai penyelamat—sebagai seorang Takdir Araez.

Aku menegakkan tubuh, menatap ratusan bintang di langit kelabu, yang terlihat bagai tetesan berlian di tengah-tengah samudra. Ini belum berakhir, aku berkata kepada diriku sendiri. Dunia masih di sini, dan jiwa Astyr masih hidup.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang