13 - (I)

72 20 0
                                    

KAMI KEMBALI SETELAH berkeliling ke beberapa tempat lain di Tria. Sebetulnya tak ada banyak hal yang menarik; cuma toko-toko, perpustakaan, museum, dan tempat-tempat membosankan lainnya. Pak tua di toko binatang disemprot seekor Fugrel secara membabi buta, tapi itu cuma lucu untuk sesaat, karena setelah itu tubuhnya semerah kepiting rebus dan dia harus diangkut empat orang dewasa.

Saat kami kembali, langit sudah menunjukkan waktu sore. Awan-awan berwarna jingga kemerahan. Astyr bersandar di depan pintu, seolah-olah sudah bersiap untuk menyambutku sejak tadi pagi.

Ia beringsut, kemudian memegang bahuku. “Apa kau sudah siap?” tanyanya, sementara Ned berjalan memasuki pintu dan Kyn melenggang pergi.

“Mungkin.” Aku mengingat bagaimana aku selalu mengalihkan perhatianku dari misi, dan itu mungkin bukan jawaban terbaikku.

“Oh, ayolah.” Astyr tampaknya mengetahui keraguanku. “Kau mau berlatih atau tidak?”

Aku meragu, tapi kemudian kulihat Vooir di celah pintu. Dia sudah berusaha keras dalam misi ini. Tapi aku lagi-lagi menghindarinya. Apa aku bisa mengecewakannya lebih banyak lagi?

“Iya.” Aku berhasil berkata. “Aku—aku ikut.”

Astyr tersenyum puas. “Nah, sampai di mana kita?”

* * *

Dia menyuruhku menunggu sementara ia mengobrak-abrik salah satu kamar dari tiga pintu; suara kelontang logam, derit-derit kayu, kemudian sesuatu yang kedengarannya baru saja meledak. Dia keluar dengan wajah penuh debu, mengenggam dua tongkat logam serupa pemukul bisbol dan sebuah bola perunggu karatan seukuran bola basket.

Aku meraihnya. Tongkat itu beratnya satu ton. “Eh ... bagaimana ini bisa—”

“Diam dan perhatikan.” Astyr melangkah ke luar dengan sebuah tongkat dan bola perunggu. Aku masih punya banyak pertanyaan, misalnya kenapa wajahnya dilumuri debu, tapi kuputuskan sebaiknya aku mengikut saja.

Itu bukan tempat yang jauh, cuma beberapa meter dari Kuil. Ada beberapa pohon yang tumbuh di sana, seperti pohon cedar yang dipotong setengah. Meski pendek, percayalah padaku, batang pohonnya setebal kulkas dapur restoran bintang lima.

Astyr menaruh tongkat dan bola perunggunya di tanah, kemudian mundur beberapa meter dari pepohonan.

“Diam dan perhatikan,” katanya. “Kau pasti tahu apa artinya itu, kan?”

Aku menyadari Astyr akan melakukan sesuatu, dan aku mundur.

Dia mengangkat tangannya ke depan, dan sekitar dua puluh atau tiga puluh tombak tipis berwarna biru berdenyar di sekelilingnya, seperti warna pelangi pada piringan kaset. Astyr menggerakan tangannya lurus-lurus seolah-olah mendorong orang tak kasatmata, dan tombak-tombak itu lepas landas, melubangi pohon di depan hinga hampir tak bersisa—lalu lembing terakhir berdesing dan pohon itu ambruk ke tanah. Salju-salju bercipratan seperti air.

“Wow,” bisikku.

“Ini bentuk sihir standar di Tria,” Astyr menjelaskan. “Kami meniru sihir Rym, meskipun belum sempurna.”

“Tapi—tapi tadi itu hebat!” Aku tergagap.

“Kelihatan menarik, mungkin. Tapi belum bisa menyamai Rym,” katanya. “Sihir dibentuk oleh karakteristikmu. Ikatan batinmu. Kalau kau bisa mendekati sumber sihirmu, kekuatanmu juga semakin kuat. Sebaliknya, kalau kau menjauh, atau terganggu, sihirmu juga akan berbalik kepadamu. Kadang ada yang terluka, atau kehilangan sihirnya sama sekali. Berita terburuknya, kau mungkin bisa tewas.”

Aku menelan ludah. “Pengetahuan yang menyenangkan.”

Dia meraih tongkat dan bola perunggunya. “Ini adalah salah satu metode pelatihan sihir di Tria. Kuno dan agak sederhana, tapi bagus untuk ketangkasan. Salah satu emosi utama dalam mengendalikan sihir adalah adrenalin.”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang