20

26 10 0
                                    

KAMI PERGI ke gunung Krostt pada sore hari yang gelap.

Menurut peta, Gunung Krostt berada di timur pulau dan berjarak setidaknya dua puluh kilometer. Hutan-hutan beku yang berkilau begitu sempit sampai-sampai kami harus berdempetan untuk berjalan, hanya berhenti ketika Ned perlu minum dari botol bawaannya (yang ternyata sudah setengah-beku), atau Vooir perlu mengecek cetakan petanya lagi (lima belas kilometer hingga mencapai tujuan), atau di saat aku perlu buang air kecil (tidak perlu dibahas).

Selama tiga jam yang mengerikan, aku terus memikirkan Astyr, dan kadang-kadang Kyn—mata kelabunya yang bingung menatap kami, keningnya yang mengernyit ketika dia pergi—dan bertanya-tanya hal apa saja yang telah dilakukan Kamp Pendidikan Tria kepadanya. Saat aku mulai membayangkan hal-hal mengerikan yang mereka mungkin lakukan pada Kyn, aku melihat Astyr—mayatnya yang tergeletak begitu saja di tengah hutan, kaku dan tak bernyawa.

Aku sudah berusaha menguatkan diriku bahwa kematian Astyr tidaklah sia-sia; bahwa itu memang sudah takdirnya sebagai seorang penyelamat dunia. Tapi seberapa kerasnya aku meyakinkan diriku, rasa kesepian dan bersalah terus muncul kembali. Astyr sudah memberitahuku tentang masa lalunya, mimpi-mimpinya, dan aku juga merasa bahwa kami begitu mirip. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?

Aku berusaha memusatkan konsentrasiku pada apa yang ada di depan kami: pepohonan beku yang membentang nyaris tak berujung. Di sisi langit sore yang berpendar jingga, aku dapat melihat puncak gunung putih yang begitu tinggi, kerucut seperti persegi sempurna dengan salju menutupi permukaannya—Gunung Krostt.

Aku menelan ludah, menatap puncak gunung dengan ngeri, sebelum kusadari Vooir berhenti di tengah jalan sambil memandangi petanya.

“Ada apa?” tanyaku, dan dia kelihatan cemas.

“Lereng pertama Gunung Krostt berada sekitar lima puluh kilometer,” ujarnya gelisah. “Kita tidak akan bisa sampai ke sana hari ini. Sepertinya kita harus menginap.”

“Tapi,” kataku cemas, “bukankah batas waktu kita cuma sepuluh hari?”

Vooir tampak resah. Aku tahu dia juga sama gelisahnya denganku. Keningnya yang pucat dibasahi setetes keringat yang meluncur ke dagunya. Sekarang sudah hari kesepuluh, dan mencapai puncak mungkin memerlukan lebih banyak waktu daripada itu.

“Sebaiknya kita sampai ke tujuan kita tepat di hari terakhir, Leon,” desahnya. “Kalau tidak ... aku mungkin tak punya pilihan.”

Aku merasa ada arti lain dalam kalimat terakhirnya, tapi aku berusaha tak menghiraukannya. Ned masih menegak botol bekunya saat dia bertanya, “Apa kita nggak bisa minta bantuan dari Araez atau apalah?”

“Kita bisa berdoa untuknya,” kata Vooir, tapi dia tidak terlihat terlalu yakin. “Hanya saja, Araez sudah sekarat. Dia mungkin tak akan mendengarkan apa pun. Percayalah, aku sudah mencoba.”

Ketika aku mendengar nama Araez, kupikir itu hanya perasaanku saja saat namanya terdengar ganjil. Tapi aku segera menyadarinya: Araez telah membiarkan Astyr mati.

Dia seorang dewa yang berkuasa. Dia mungkin bisa menghancurkan langit. Tapi dia bahkan tidak berkedip ketika Astyr terbunuh. Dia bahkan tidak muncul. Dia bahkan tidak pernah menemuiku.

“Kenapa?” tanyaku. Adrenalin memompa darahku, membuat kulitku terasa terbakar. “Dia dewa, kan?”

Vooir tampak gelisah. “Esmerides memang kuat, iya, tapi dia sudah—”

“Kalau dia memang sekuat itu,” suaraku parau, “kenapa dia sama sekali nggak mencoba membantu Astyr?”

Wajah Vooir menggelap. “Aku—”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang