KETIKA AKU BERDIRI, tanah berguncang bagaikan gempa bumi. Sesemakan meledak dengan getaran hebat. Derap-derap kaki bergemuruh melintasi salju. Bayang-bayang kelabu bergerak menembus kabut.
Cahaya putih. Aku melihat cahaya putih bagai listrik yang berkilat sebelum orang-orang itu masuk. Dua lusin prajurit berhamburan ke arah danau, tunik putih pasir berkibar oleh dera angin yang membeku. Setengah wajah mereka dilingkupi oleh topeng perak, yang bahkan menutupi mata, tapi di tangan mereka ada yang lebih mengejutkanku: derak-derak putih berkilat pada tongkat-tongkat panjang berlapis emas.
Itulah yang membunuh Myrk.
Darahku berubah sedingin es ketika mereka menghampiriku, menyeretku keluar dari danau, meninggalkan mayat Myrk yang teronggok dalam genangan darah di atas lapisan beku yang tipis. Aku berteriak, “TIDAK!”
Tangan-tangan menyambarku.
Mereka menempatkanku di dekat bebatuan, membalut lukaku, bertanya apakah aku baik-baik saja dan hal semacam itu. Aku begitu terguncang sehingga tak satu pun dari pertanyaan itu terjawab. Mataku mencari-cari sesuatu di antara gerombolan, hanya untuk mengingatkanku bahwa semua ini benar-benar nyata, dan aku terpaku pada sebuah sosok berwarna hitam.Dia kecil, mungkin seumuranku. Sosok itu adalah satu-satunya orang di antara prajurit yang mengenakan pakaian hitam alih-alih putih pasir. Dia mengamatiku, mengangkat topengnya, dan berkata dengan suara gemetar, “Kau tidak apa-apa?”
Aku terkesiap. Aku mengenali mata birunya, yang berwarna serupa laut.
“Vooir?” kataku, tergagap. “A-apa yang—”
Dia melepaskan seluruh topeng perak. Kini aku bisa melihat wajahnya: matanya yang runcing, kulitnya yang pucat, dan rambut hitam pekat yang berjatuhan di bahunya. Dia memang Vooir. Vooir sungguhan. Vooir yang dua hari lalu bersumpah mengkhianatiku. Vooir yang berwajah runcing dan pucat, kembali.
“Sekarang bukan saatnya,” gadis itu mendesis padaku. Dia tampak persis seperti Vooir yang terakhir kali kulihat di gua, tapi dengan seragam militer hitam, topeng logam tanpa lubang mata, dan tongkat panjang di tangannya yang berdengung di balik cahaya pucat. Aku mundur ke bebatuan, tak percaya bahwa dia benar-benar kembali. “Ceritanya lumayan panjang, Leon. Tapi kami berhasil menahan pasukan Rot ... untuk sementara waktu. Di mana pusakanya?”
Selama tiga minggu lamanya aku mengalami kejadian aneh, ini mungkin hal teraneh yang pernah kusaksikan.
“A-aku tidak mengerti,” aku tergagap, “bukannya kau ... kau telah meng—”
Vooir membungkam mulutku dengan waspada. “Tidak, Leon. Apa kau tidak sadar? Aku ...” suaranya melirih, “aku berbohong.”
Aku memandangi Ned yang terbatuk-batuk ketika para prajurit memberikannya air. Melihat lencana petak yang terpasang di dada mereka, aku menyadari sesuatu: Mereka pasukan Aldeoirgh. Vooir berhasil mendapatkan bala bantuan tanpa meninggalkanku.
“Aku—aku—” suaraku tercekat. “Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi.”
Vooir tersenyum tipis. “Maafkan aku tidak memberitahumu.” Tapi mendadak wajahnya meredup, ketika matanya terpaku pada sebuah mayat di danau. “Untunglah kau baik-baik saja berhadapan dengannya.”
Aku berdiri, berjalan dengan terhuyung-hutung ke arah mayatnya yang bersimbah darah. Aku bisa mendengar suara napas sesak berembus keluar dari mulutnya; rintihan-rintihan lirih yang menggores gendang telingaku. Aku berdengap. Dia masih hidup.
Panik, aku menoleh ke arah para prajurit, hampir meneriakkan “Tolong!” ketika sekelebat gambar menghujam isi kepalaku.
Hanya ada cahaya putih dan kabut, lalu aku melihat sebuah perbukitan hijau. Rerumputan berembus diterpa angin. Air sungai jernih beriak. Langit berwarna jingga sore, dengan semburat kuning menghiasi awan. Menatap ke depan, aku melihat jalan-jalan Rot—namun bukan Rot yang dulu kusaksikan, tapi Rot yang baru, yang benar-benar bersih. Anak-anak berpakaian hitam dan putih berlarian mengiringi pasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...