AKU MASIH PUNYA banyak pertanyaan mengenai siapa sebenarnya Old Dicer dan bagaimana bisa dia mengenal ayahku, tapi pria itu baik kepada kami, dan beberapa jam berikutnya aku lupa soal kecurigaanku.
Aku tahu kalau Old Dicer menang agak aneh. Dia terus memakai kostum ala koboi atau bajak laut, atau keduanya. Kadang-kadang dia keluar sebentar dan kembali dengan seekor binatang yang dagingnya dapat kami masak. Dan ketika dia sedang berpikir, biasanya dia memanah di kamarnya sendiri selama berjam-jam.
Dia mirip koboi sekaligus ilmuwan—mirip genius sekaligus orang biasa. Pokoknya, dia terlalu membingungkan, tapi kurasa itulah alasan kenapa kami nyaman tinggal bersamanya. Dia tak pernah mengajukan pertanyaan dan ketika kami bertanya, dia akan pura-pura menjawab dan mulai menceritakan tentang para pemburu di Amerika Utara. Aku tahu itu kedengarannya seperti siksaan, tapi aku lebih suka hidup tenang daripada diganggu sepanjang hari.
Setelah makan malam dengan seekor Dagren bakar (Ned menangis di tengah acara, yang membuat situasinya agak canggung), kami berusaha tidur pada salah satu kamar di pondok.
Kamarnya nyaman, mirip dengan ruang tengahnya. Ada perapian hangat di tengah, karpet lembut dari bulu seekor beruang, dan beberapa meja dan kursi. Ada sepasang ranjang di kamar itu, pas untuk kami berdua. Lentera mendenyarkan ruangan dalam warna jingga kekuningan.
Kami berusaha tidur, bersama lentera jingga yang dimatikan, tapi Ned terus bergerak-gerak gelisah di atas kasurnya.
“Ada apa?” tanyaku padanya.
Dia memandangku cemas. “Aku hanya belum bisa mencerna situasinya,” Ned berkata. “Maksudku, aku tahu kita beruntung bisa selamat hingga saat ini. Tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya. Siapa Old Dicer? Dan—dan di mana Vooir?”
Tenggorokanku tercekat. Aku tahu aku tak bakal bisa menjawabnya.
“Dia ... dia—” Suaraku terdengar pecah, “dia meninggalkan kita. Ke Aldeoirgh.”
“Kenapa?”
Kenapa. Itulah pertanyaan yang menghantuiku.
“Aku tidak tahu,” aku berbohong, “saat aku kembali, dia sudah nggak ada.”
Ned memandangku dengan kosong. Aku tidak tahu apakah dia meragukanku atau tidak, tapi aku benar-benar tak ingin tahu.
“Baiklah,” ujarnya akhirnya.
“Apa?” Aku berkedip. “Kau ... kau percaya?”
“Memangnya kita bisa apa lagi?” Ned membenamkan tubuhnya dengan selimut. “Mau kita protes seberapa sering pun, Vooir nggak bakal kembali. Dia pergi. Kurasa itu keputusannya. Jadi, lebih baik kita fokus ke hal-hal yang lebih penting.”
“Hal-hal yang lebih penting,” gumamku.
“Omong-omong,” Ned menatapku, “kurasa aku sudah punya dugaan di mana lokasi Jantung Harautt berada.”
“Benarkah? Di mana?”
Ned membuka selimutnya lebar-lebar dan menunjukkan buku-buku dan gulungan perkamen di baliknya.
“Perpustakaan Old Dicer,” Ned nyengir
“Sungguh keren.”Aku terbangun. “Kau benar-benar sudah menemukannya? Dari situ?”
“Yah, sebagian besar cuma asumsiku,” katanya. “Aku belum bisa mengungkapkan seluruhnya, tapi aku yakin Jantung Harautt tidak berada di sini.”
“Lalu?” tanyaku. “Di mana ia berada?”
Ned menunjuk ke lantai. “Di tempat yang tersembunyi,” bisiknya, “di tempat yang tak seorang pun duga akan menyimpan sebuah harta karun.”
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...