26

24 13 0
                                    

AKU TERGULING-GULING menabrak bebatuan dan ranting, berteriak “AAAAH!” ketika kulihat sebuah potongan es besar berjarak beberapa meter dariku. Lalu kurasakan tubuhku terangkat oleh sesuatu yang besar.

Si pria tua membantuku berdiri di sampingnya. Kami berada di lereng curam, tepat di bawah tebing, dengan hamparan salju sempit serta pepohonan suram. Ned mengikuti kami di belakang.

Aku terengah. “Terima kasih, Pak ...?”

“Panggil aku Old Dicer,” kata sang pria, menunjuk lencana koboi pada jaketnya. “Hanya itu saja untuk sekarang. Kita harus segera keluar dari sini.”

Pak Tua Dicer? Itu namanya? Kalau saja kami sedang tidak dikejar puluhan serigala, aku pasti bakalan tertawa terbahak-bahak. Aku mendongak ke atas dan melihat para serigala bergemuruh mengejar kami ke bawah, berhasil melompati tebing, dan tepat di depan mereka ....

“NED!” Aku tergagap.

Ned berusaha mengejar kami, tersandung-sandung, dan terjatuh di tengah perjalanan sementara para serigala hanya tinggal beberapa meter darinya. Lusinan serigala lain turun dari tebing dengan buas. Tanah bergemuruh seperti gempa bumi.

Aku melepaskan tasku, tapi Old Dicer menghentikanku.

“Biar aku yang urus,” ujar sang pria tua.

“Tapi—”

“Kau masih belum tahu seberapa haus darahnya serigala di Erdeos.” Old Dicer menatap Ned, yang sekarang berusaha melawan para serigala dengan sihirnya. Tombak-tombak melesat berkilauan di langit. “Pergilah. Aku dan temanmu akan menyusul.”

Aku ingin memprotes, tapi sepertinya tak ada gunanya menolak pertolongan pria besar itu. Aku melesat meninggalkan mereka secepat yang kubisa. Old Dicer berlari dengan langkah-langkah lebar menuju kawanan serigala. Ketika aku berhenti di depan pepohonan, aku melihat Old Dicer menggendong Ned ke arahku, para serigala teronggok di kanan kirinya.

“Kita mau ke mana?” tanyaku, ketika Old Dicer tiba.

“Rumahku.” Dia menunjuk sebuah pondok yang terlihat sangat kecil pada tebing di timur. “Hanya beberapa jam dari sini. Ayo!”

Kami berlari menuju jalan berkelok ke tempat pondok itu. Daerahnya terlalu curam, tetapi Old Dicer selalu sigap menolongku ketika aku tersandung. Pada saat kami berjalan melewati jembatan es yang sempit, aku terpeleset di tepiannya dan nyaris jatuh ke jurang, tapi si pak tua itu menarikku kembali.

“Woah,” kesiapku, menatap salju yang berjatuhan ke jurang lima puluh kaki itu. “Terima kasih.”

“Sudah kubilang, simpan terima kasihnya untuk nanti,” kata Dicer. Dia terlihat terlalu tenang untuk ukuran orang yang menyeberangi jembatan di tengah pegunungan. “Aku harus menjamin keselamatan kalian setelah kita sampai di pondok.”

“Aku masih ada pertanyaan,” selaku. “Bagaimana kau bisa mengenalku?”

“Singkatnya saja,” desah Old Dicer, “aku mengenal seseorang yang dekat denganmu.”

“Orang yang dekat denganku? Siapa?”

Kemudian aku mendengar suara Lyos: Pria itu berpesan untuk memberikannya kepada seseorang bernama Redwine.

Aku tergagap. “Kau mengenal ... ayahku?”

“Dulu.” Old Dicer tampak sedih, seolah-olah ingatan tentangnya tak berkesan terlalu menyenangkan. “Sebelum aku pergi, iya. Kami saling mengenal. Begitulah.”

“Tapi bagaimana?” Aku mengerjap.

Old Dicer tersenyum. Dia tampak seperti pemeran sheriff di film-film lama Amerika, hanya saja dengan bandana alih-alih topi koboi. “Itu cerita lama, Bocah Singa. Cerita lama yang rumit. Kita fokuskan diri dulu pada masa depan.”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang