AYAHKU TIDAK ADA DI RUMAH esok paginya, yang nyaris membuatku panik dan buru-buru menelepon polisi mengenai laporan orang hilang. Namun aku paksakan otakku untuk berpikir positif; mungkin Ayah menginap di suatu tempat, mungkin Ayah kesasar dan terlelap di kursi mobilnya, mungkin Ayah bertemu dengan musisi metal legendaris dan mereka jadi sahabat selamanya, mungkin ....
Aku masih berusaha memasukkan pikiran positif pada otakku saat menyiapkan sarapan, yang terasa bagai dipaksa mengunyah spons mobil sebagai makan malam. Keadaan batinku masih oke-oke saja sebelum aku melihat pamflet kampanye protes besar-besaran menyelip di sela pintu. Dan bisa kujabarkan pikiranku saat itu dengan satu kalimat; kereta-kereta saling bertabrakan dan ledakan dahsyat menggelegar menjadi tiga bagian.
Namun sebelum aku sempat menjatuhkan piring sarapan waffel microwave dan buru-buru menelepon polisi, derit-derit lantai kayu terdengar di depan, kenop pintu memutar dan pintu menjeblak terbuka.
Itu ayahku.
Tanpa sadar piring waffel di tanganku tergeletak ke meja. Ayahku masih hidup, masih bernapas, masih jadi warganegara Amerika Serikat, masih jadi orang miskin biasa dan tidak bergabung bersama suku-suku kanibal.
Dia pulang terlambat. Tidak biasa. Wajahnya kusam dan bajunya compang-camping, tapi kali ini lebih parah dari biasanya. Namun tiba-tiba perasaan marah menyeruak dalam dadaku, dan aku mengambil keputusan dengan cuek padanya. Aku menunggu kehadirannya, menangis karenanya, dan dia baru datang tepat sebelum aku berangkat ke sekolah.
“Dari mana saja kau?” tanyaku datar.
Ayah akhirnya bergerak dari ambang pintu. Aku mengernyit. Langkahnya aneh, seolah-olah ribuan jarum menusuk-nusuk telapak kakinya tiap kali dia berjalan. Saat dia berada di depan meja, aku nyaris terlonjak. Lengannya yang dibalut jaket tampak berdarah.
Tanganku gemetar saat meletakkan dua piring sarapan. Tapi kekesalan pada ayahku lebih mengontrol tindakanku saat itu, dan aku membuat diriku tampak seakan-akan tidak peduli dengan keadaannya sama sekali. Walaupun begitu, aku tak bisa berbohong kalau aku merasa ngeri.
“Las Vegas,” katanya serak, menggeser kursi dan merebahkan badannya. Napasnya menderu hebat, dadanya naik turun mengambil udara, dia kelihatan terguncang—entah karena apa. “Aku akhirnya menemukan obatnya, nyaris.”
Aku berusaha membuat wajahku tidak menunjukkan ekspresi terkejut. “Kau pergi ke Las Vegas?”
Ia mendesah. “Seorang biksu Nepal menghubungi Ayah untuk pergi ke sana. Katanya dia menyerah pada karir biksunya dan memutuskan untuk bersenang-senang—ke Las Vegas.”
Biksu Nepal, batinku. Tidak buruk. Tapi melihat lengannya yang berdarah, kurasa segalanya tidak berjalan dengan bagus.
Ayahku membenarkan posisi duduknya. “Ayah membeli tiket pesawat, ke sana secepatnya. Dia bilang akan muncul saat malam, jadi Ayah menginap di motel terdekat. Yah, bisa dibilang, keadaan tak berjalan sesuai rencana,” lanjutnya, masih dengan nada suram yang sama.
Aku terbelalak. Saat malam. Las Vegas. Emosiku hampir meledak, tapi aku cepat-cepat menahannya. Aku tahu ayahku atlet judo dan jujitsu saat SMA, dan dia sanggup menghindari maut puluhan kali entah bagaimana, tapi menerima ajakan antah berantah buat ketemuan waktu malam ke Las Vegas? Mungkin ayahku jadi sinting. Bisa jadi.
Walau begitu, sinting pun tidak menjelaskan darah di lengannya, maupun kenapa dia mirip gelandangan dan cara berjalannya kelihatan begitu menyiksa. Pada saat itu aku merasa wajahku melunak, karena Ayah tiba-tiba berkata, “Ayah sudah pergi ke rumah sakit,” dan menjulurkan lengan berdarahnya padaku seolah aku buta warna dan akan menganggap darahnya sebagai siraman soda stroberi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...