“APA-APAAN itu tadi?” aku menjerit, menyembul keluar dari kubangan air. Dagren-Dagren di sekitar danau memekik dan berlarian menjauh. Tumbuhan air tergeletak di atas kepalaku, dan aku sama sekali tidak tahu apakah Dagren di sebelahku menginginkan tumbuhan ini atau kepalaku.
Vooir membungkuk sambil memegangi lututnya. “Itu—Dvittur—” ia terengah-engah. “Makhluk berbahaya di Erdeos. Mereka akan membunuh siapa pun yang memasuki teritori mereka.”
Aku mengerjap. Entah dari mana aku mendapat gagasan memasuki gua sendirian adalah ide yang bagus.
“Dvi—apalah. Bagaimana bisa ada makhluk seperti itu di sini?” tanyaku, memandang ke sekeliling. Segalanya masih begitu indah. Tak ada orang yang bakal mengira ada sesuatu yang mematikan di sini. Lebih-lebih lagi seekor naga.
“Aku tidak tahu. Yang jelas, mereka berbahaya,” kata Vooir, mengulurkan tangannya. “Dan jangan pernah dekati mereka lagi, Redwine.”
Aku meraihnya. Wajah beserta tanganku basah kuyup, tapi pakaianku tetap kering. Barangkali aku tak perlu mencuci baju. “Entahlah. Aku nggak tahu bagaimana, tapi aku merasa seperti dipanggil ke sana,” kataku parau, berusaha keras mengingat apa yang terjadi barusan.
“Hipnotisme. Dvittur punya keahlian itu.” Vooir menyingkirkan tumbuhan merah muda di atas kepalaku. “Intinya, jangan pernah mencoba-coba melakukan sesuatu seperti itu lagi.”
Aku menunduk. “Sori,” kataku. “Aku cuma penasaran—”
“Leon, apa yang terjadi?” Ned memekik, berlari dengan untaian bulu-bulu Dagren menggulung di jemarinya. “Kau—kau nggak apa?”
“Yah, cuma hampir dibelah dua dengan panah-panah berbulu,” kataku, memeriksa pantulan wajahku di permukaan danau. Aku terlihat seakan menghabiskan separuh hidupku dengan depresi. “Kau tahulah, perjumpaan supranatural harian yang biasa.”
Rogeid mendesing menghampiriku. “Astaga, apa yang—” Ia mendadak menatap tajam pada Vooir. “Nona Elledoire, lain kali awasi tanggung jawabmu dengan baik.”
Vooir tampaknya tak bisa berkata-kata dan menunduk. “Aku tahu,” katanya parau. “Maaf.”
“Aku tak bisa memercayai ini—” desah Rogeid, menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengintip lewat celah kacamatanya. “Bagaimana aku akan menghadapi ayahmu?”
Vooir hanya terdiam.
“Kau melemah. Seperti yang diduga semua orang,” kata Rogeid tajam. “Sudah kubilang Kekaisaran seharusnya—”
“Rogeid. Cukup. Kita punya misi,” Vooir memohon. “Redwine, apa kau sudah merasa baikan?”
“Eh—yah, kayaknya,” kataku terbata-bata. Rasanya canggung mencampuri percakapan mereka.
“Em ... apa ada orang yang mau memberi tahuku apa yang terjadi?” tanya Ned, menatap Vooir, Rogeid, dan aku bergantian.
“Simpan dongengnya untuk nanti, Warga Sipil. Kita harus pergi.” Rogeid mendesing menuju pepohonan.
“Tunggu!” Ned memohon. “Apa itu artinya aku nggak bisa menemui mereka lagi?” pintanya sedih, memandangi sobat antelopnya yang menyantapi rumput.
“Kita lihat apakah Rogeid bakal menyetujuinya atau nggak,” kataku, berjalan menepuk bahu Ned. “Kita harus pergi sekarang. Ayo, Ned. Perjalanan kita masih jauh.”
Setelah Ned dengan berkaca-kaca mengucapkan selamat tinggal kepada para Dagren, kami pergi meninggalkan taman indah itu menuju pepohonan di depan. Aku bertanya-tanya apakah Ned mulai menjelma jadi putri dongeng atau apa. Dengan langkah lunglai, dia berjalan mengikutiku, terus-terusan menoleh ke teman-teman binatangnya dengan wajah sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...