KAMI PERGI MENYUSURI jalan-jalan di pusat kota Rot setelah pertandingan usai, mencari-cari perpustakaan yang Ned tunjuk di peta. Kami bergerak melewati lusinan gedung—dari kayu, baja, dan kadang-kadang marmer, tampak bercahaya di bawah langit malam.
Satu-satunya hal yang terlintas di benakku adalah tempat ini kotor. Sampah yang berbau menyengat bertebaran di sekitar. Orang-orang berpenampilan mengerikan berjalan gontai menuju apa pun yang ada berkilo-kilo meter di depan, wajah mereka kurus kerontang dan tanpa nyawa, bagaikan seratus hantu yang berbaris menuju padang kematian. Tempat ini seperti sebuah pembuangan sampah, hanya dua kali seluas lapangan sepak bola, dan punya penduduk yang sama kotornya.
Aku menyadari kenapa mereka bisa punya janji dengan para Esmerides. Kalau New York sekotor ini (dan kota itu memang sudah kotor), aku juga akan memercayai makhluk-makhluk penghancur alam semesta. Rasanya sedih, sekalipun pemimpin mereka berencana membunuh kami. Mereka terlihat begitu ... depresi.
Selagi kami berusaha menembus lautan manusia yang berdesakkan, seorang anak berjubah kelabu tiba-tiba menabrakku.
“Maaf,” katanya, wajahnya tertutupi oleh tudung yang menyentuh dagu.
Dia melintas pergi, tapi sebelum aku sadar barangkali ada barang-barangku yang dicuri, Ned menunjuk pada sebuah atap marmer di kejauhan. “Lihat! Itu perpustakaannya. Kita bisa mencari informasi lewat situ!”
“Tunggu, apa kau yakin kita tak kehilangan apa-apa?” Aku memeriksa tasku dan menyadari semua makananku lenyap. Hebat. Sekarang kami harus makan apa kalau tersesat?
Ned tampaknya tak mendengarku. “Kita harus segera ke sana sebelum ada yang menyadari penyamaran kita, ayo!” Dia menarik lenganku bersamanya, menabrak beberapa orang yang memekik dan menyumpah-nyumpah. “Maaf! Situasi darurat!”
Kami berhasil keluar dari lautan orang itu dan melesat ke depan perpustakaan. Tempat itu terbuat dari marmer putih dan berbentuk seperti kotak raksasa. Tanpa sempat mengagumi ukiran dindingnya yang bersepuh emas, kami masuk dengan hati-hati melewati beberapa orang yang mondar-mandir di balkon dengan sekantong buku.
Tempat itu luar biasa besar. Berderet-deret buku dipajang dalam rak-rak yang mengelilingi ruangan. Pastinya Rot pernah kaya sebelumnya, melihat mereka punya sesuatu semegah ini. Kami melesat ke barisan rak berplakat ILMU PENGETAHUAN DAN SEJARAH—berkat kontak lensa penerjemahku dari Vooir, aku dapat membacanya dengan sempurna.
Aku menebar pandangan, memastikan tak ada orang yang memperhatikan kami sementara Ned memilih buku.
“Kita harus cepat kalau kita nggak mau ketahuan.” Ned meraih sebuah buku dari rak dan membukanya. “Sejarah Para Esmerides—Dewa-Dewi Penyelamat Dunia.”
“Judulnya nggak terlalu meyakinkan,” kataku.
“Ditulis oleh Bren Ku Donn. Tunggu sebentar, orang itu yang menulis ini?”
“Apa?” Aku tak percaya orang seperti itu bahkan bisa menulis. “Pantas saja pekerjannya memuakkan. Bagaimana isinya?”
“Para Esmerides, Tiga Agung, cuma hal-hal biasa—” Ned membuka-buka setiap halaman sambil mengernyit. “Janji Esmerides dan Araez Exatra? Ini bisa jadi petunjuk kita!”
Dia segera membacakan halaman itu dengan bisikan. “Tiga Agung—Sophos, Othrius, dan Titaneos—dewa-dewi utama kita, adalah tiga Esmerides yang paling agung, paling tua, dan paling berkuasa di antara semua Esmerides.”
Aku hanya bisa melihat sekilas ke buku itu, tapi entah kenapa nama-nama mereka membuat tubuhku menggigil. Siapa pun Titaneos itu, dia jelas berbahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...