14 - (II)

54 17 0
                                    

“TEROBSESI?” Kyn memandangi kami. “Apa sih yang kalian bicarakan?”

“Kau nggak menyadarinya?” tanyaku.

Ia mengerutkan dahi. “Menyadari apa? Semuanya baik-baik saja, kok.”

“Pelajaran-pelajarannya?” desak Ned.

“Ada apa dengan pelajarannya?”

“Dan dinding-dinding itu?” tanyaku.

“Kenapa dengan dinding-dindinginya?”

Aku dan Ned saling bertatapan.

“Dengar, apa pun yang kalian bicarakan, pokoknya kalian harus ke auditorium sekarang,” kata Kyn, menunjuk ke belakang. “Liburan sudah usai dan ada banyak pengumuman penting. Kalian nggak mau tersesat di sini, kan?”

Meski masih punya banyak hal untuk ditanyakan, aku dan Ned mengangguk setuju dan pergi.

Kami melewati rak-rak raksasa berisi perkamen dan buku-buku, kemudian menyusuri koridor melelahkan bagai labirin. Ketika kami berbelok dan sampai ke ujung, terdapat dua pintu ganda besar dengan plakat emas masing-masing di atasnya, yang Ned baca sebagai “Taman Belakang” dan “Ruang Makan”, kemudian memasuki yang kiri.

Kami menginjak tanah bersalju. Paviliun-paviliun terhampar, angin berembus, dan anak-anak berbondong-bondong memasuki auditorium bertirai beludru. Kami tersandung-sandung melewati murid-murid bertunik hitam, dan akhirnya menemukan tempat kosong di tengah barisan. Aku terkejut karena di sini sama sekali tidak ada kursi, dan bangku-bangku memanjang hanya tersedia di depan bagi orang-orang dewasa (pasti guru, sebagian dari mereka kelihatan depresi). Tempat duduk hanya dibatasi oleh kayu-kayu tipis berbentuk segi empat, membelah lantai auditorium menjadi papan catur. Aku dan Ned terduduk dengan kaku sementara satu demi satu lantai mulai penuh. Ketika tak ada lagi yang masuk, tirai beledu pada panggung dibuka dan muncul seorang wanita.

Umurnya paruh baya, dengan wajah berkeriput dan badan kering kerontang. Mata kelabunya sedingin es dan kantung matanya hitam. Rambutnya dikepang besar-besar dan dihias dengan lingkaran-lingkaran kuningan, persis seperti penampilan Astyr pada pagi hari sebelum para Rot datang, gaunnya berwarna merah tua kaku dan mantel bulunya berbahu runcing. Ia berdeham sebelum membacakan gulungan perkamennya yang dibuka lebar-lebar.

“Masa libur telah berlalu, dan kalian, para Tivarr terhormat yang diberkahi Sang Agung Rym, akan menempuh perjalanan yang baru,” ujarnya, memandangi para murid dari kanan dan kiri dengan mata kelabunya. “Tiap-tiap Tivarr, baik Tahun Pertama maupun Tahun Keempat, akan menghadapi Ujian Besar yang diadakan tiga hari lagi.”

Kerumunan berbisik-bisik tegang.

“Namun, sebagai Dewan Sekolah, saya harap meski dalam masa liburan yang panjang—setiap Tivarr muda telah melatih kemampuan mereka untuk menghadapi rintangan baru ini,” gelegarnya. “Tak ada satu pun Tivarr yang boleh gagal. Tidak di dalam Sekolah untuk Para Tivarr Cerdas. Kalian harus membuktikan jati diri kalian sebagai seorang Tivarr—pendalam ilmu pengetahuan sejati yang suci dan berbudi luhur—kualitas-kualitas yang membedakan kalian dari para Gunn atau Rot!”

Kerumunan sunyi senyap.

Sekilas, aku melihat Kyn mengepalkan tangannya, bertekad.

“Jika kalian gagal, kalian gagal selamanya. Jika kalian menang, kalian akan dikenang sebagai pahlawan. Ujian Besar tidak—dan tidak akan pernah—mengasihani kalian, berasal dari keluarga terpandang atau sebaliknya, lemah atau kuat—Ujian Besar akan membuktikan jati diri kalian sebenarnya dengan setara!” Suaranya menggetarkan ruangan. “Kalian sudah tahu aturannya. Ujian sihir di amfiteater, pidato di auditorium, dan—Ah.”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang