13 - (II)

52 17 0
                                    

AGAK ANEH RASANYA berlatih dengan Astyr setelah mengetahui dia berasal dari Rot.

Aku dan Ned duduk dengan gugup di atas salju tebal Pusat Pelatihan. Satu meter dari kami, Astyr melepaskan anak-anak panah yang melesat dan menancap pada dua papan tembak, keduanya meliuk-liuk seperti anakonda.

Hari ini akan ada latihan khusus yang bisa membuatku dan Ned diterima di Sekolah. Dan aku sama sekali tidak tahu bakal seperti apa latihan itu.

Gagasan itu sudah cukup buruk, tapi ada yang lebih buruk lagi; para prajurit muda kini menonton kami seperti acara olahraga, seakan-akan memastikan kami pantas diterima atau tidak. Rasa gatal menjalari leherku.

Astyr menyeretku latihan di pagi-pagi buta ... lagi. Tapi karena Ned bakal hadir di latihan khusus sore nanti, dia juga ikut dengan kami. Sekarang, dia sedang memperhatikan penjelasan-penjelasan Astyr, dan barangkali bibirnya gemetar.

“Keraguan akan memperlambat kalian.” Astyr memeragakan posisi memanah. “Pastikan kau percaya diri saat melepas anak panahmu. Ada saat-saat di mana papan-papan ini melambat. Leon, kau sudah mengetahui ini. Bisa kau tunjukkan kemampuanmu?”

Aku menelan ludah, lalu meraih busur kayuku dan meletakkan anak panah di talinya. Kueratkan peganganku dan kulihat saat-saat papan tembak itu melambat—

Anak panahku menembus papan itu, meleset beberapa senti, tapi lumayan.

“Bagus.” Astyr berbalik. “Sekarang, Ned, apa kau sudah siap?”

Ned berdiri dengan gugup dan memegang busurnya dengan linglung. Aku setengah berharap keberuntungan Ned bakal berlaku kali ini, tapi pegangannya melonggar dan anak panahnya jatuh dengan mengenaskan.

Kerumunan prajurit tertawa.

“Sori,” gagapnya, dengan wajah terbakar, mengambil anak panah itu kembali.

“Perhatikan posisimu, Nak,” Astyr menekankan, memandang Ned atas bawah dengan cemas. “Tubuhmu harus—”

“Tegak lurus dengan target dan garis tembak, dengan kaki ditempatkan selebar bahu, benar?”

“Wah, pintar. Bagaimana kau tahu itu?”

Ned memegangi lehernya dengan resah. “Aku tahu teorinya,” katanya muram. “Tapi tubuhku—maksudku, aku nggak terlalu mahir soal kekuatan fisik.”

“Aku mengerti,” Astyr menenangkannya. “Tapi memanah bukan berpedang. Yang terpenting dari memanah adalah akurasi dan waktu. Kau hanya perlu percaya diri.”

“Benar.” Ned menghela napas. “Akan kucoba lagi.”

Dia menarik anak panahnya sekuat tenaga dan melepasnya. Anak panah itu berdesing dan menembus papan tembak dengan keras, tapi cuma di tepiannya. Wajah Ned merah padam.

“Maaf,” katanya kikuk. “Akan kucoba lagi.”

Astyr mencengkeram bahunya kuat-kuat. “Perhatikan aku,” katanya, “dan pelajari.”

Dia menarik anak panah. Begitu anak panah dilepas, mata Ned melebar, seakan-akan menyadari sesuatu yang baru.

“Akurasi dan waktu,” gumamnya, “itu bukan cuma soal penglihatan.”

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang