KETIKA AKU MELANGKAH gontai memasuki amfiteater, aku tetap membungkam mulut meskipun Ned berada di sebelahku.
Saat itu pagi yang cerah, dengan langit biru dan sedikit kabut beku yang berputar-putar mengelilingi kami. Amfiteater sekolah mungkin tidak semegah atau sebesar amfiteater milik Rot, tapi tempatnya cukup nyaman. Ada kursi penonton bertingkat-tingkat tinggi, arena lingkaran bersepuh emas di tengah-tengah kami, dan beberapa gerobak berisi air dan kudapan kalau-kalau ada di antara kami yang lelah. Saat Ned dan aku duduk, seorang guru memperingati kami bahwa kami tidak akan ikut karena kami tak memiliki sihir—yah, mereka pikir kami tak punya. Ned bersikeras memprotes, dan setelah perdebatan panjang yang melelahkan, para guru akhirnya mengizinkannya ikut meski terpaksa.
Sepanjang perlombaan, aku terdiam. Aku tak bicara pada Ned atau siapa pun, kecuali sesekali berkomentar tentang cuaca ketika dia mulai memandangiku aneh. Aku masih tak bisa mencerna apa yang kualami dengan Kyn tadi, rahasianya yang selama ini disembunyikan, dan fakta bahwa dia duduk hanya sebaris dari kami sama sekali tidak membantu.
Aku bisa melihat para juri duduk di tengah-tengah kami, pada semacam tempat duduk khusus yang sedikit lebih tinggi. Aku mengenali beberapa guru dan Dewan hingga akhirnya mataku terpaku pada Astyr. Dia tampak begitu lelah, sampai nyaris kukira umurnya pasti sudah lebih dari seribu tahun.
Trompet dibunyikan dari jauh di bawah kami dan nama anak-anak mulai dipanggil. Seperti biasanya, anak-anak yang memulai berasal dari kelas rendah, berpasang-pasangan menuju arena dengan tubuh gemetar.
Kupikir mereka bakal bertarung atau semacamnya, seperti yang kulihat di Rot kemarin, tetapi mereka hanya saling berlomba keterampilan di depan para juri. Mereka menggunakan sihir mereka, melakukan beberapa atraksi konyol, dan akhirnya menembakkan panah-panah sihir menuju papan tembak tinggi yang terpasang pada tembok di seberang arena. Tentu saja, karena mereka masih anak-anak junior, sebagian besar yang mereka pamerkan cuma atraksi-atraksi akrobatik konyol yang berakhir dengan memalukan atau, kadang-kadang, sedikit menghibur.
Beberapa waktu berlalu sampai giliran siswa-siswi tahun pertama usai dan kini giliran tahun kedua. Aku tak banyak bergerak di tempat dudukku sendiri, tapi sejauh ini, aku tak pernah melihat Astyr tampak terkesan. Ned kelihatan ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi apa pun yang ingin dikatakannya, namanya sudah dipanggil duluan.
Bersama dengan Kyn.
Itu jelas-jelas bukan kombinasi yang akan berakhir dengan pelangi dan kuda poni. Aku ingin mengeluh, tapi Ned sudah meninggalkan bangku penonton bersama Kyn, melangkah menuju arena bundar tempat mereka saling hajar.
Mereka berhadap-hadapan sebelum berbalik menatap para penonton. Kyn dan Ned bersama-sama menggunakan sihir mereka—lusinan tombak kebiruan yang mengelilingi tubuh bagai lingkaran ajaib yang berkilat-kilat. Entah bagaimana, aku tahu sihir Ned tampak berbeda. Sulit menjelaskannya dengan kata-kata, tapi jumlah tombaknya jauh lebih banyak dan tampak lebih biru daripada yang lainnya, dan ketika ia bermunculan, aku bisa merasakan semilir angin hangat darinya, bau musim semi, dan ratusan perasaan menyenangkan lain.
Sementara itu, aku tak bisa merasakan banyak hal dari sihir Kyn. Maksudku, sihirnya memang tampak sempurna, tapi aku tak bisa merasakan apa pun yang serupa dengan apa yang telah dihasilkan Ned. Aku hanya melihat sihir Tria biasa yang dapat dilakukan lima puluh orang lainnya, dan—kuharap ini cuma perasaanku saja—gerakan tubuhnya tampak sedikit ... kasar.
Mereka melakukan beberapa trik. Ned membuat lembing sihirnya berputar mengelilinginya laksana pusaran ombak, yang membuat segelintir penonton tampak terkesan (orang-orang yang bersorak pada hari pidato Ned tersenyum bangga). Kyn melihat apa yang Ned lakukan dan membuat bagian-bagian sihirnya terlontar di udara dan meledak seperti petasan. Anak-anak bersorak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...