SEMUA ORANG berlari keluar dari auditorium, menjerit-jerit ketakutan dan memekik histeris.
Tempat itu hancur berantakan sekarang. Lantai meninggalkan lubang menganga, mimbar pecah, tempat penonton dipenuhi serpihan kayu, pecahan marmer, dan tirai lembayung yang terlempar ke lantai, bagian atasnya tersobek-sobek seakan ada monster yang mencakarnya.
Aku memandang ke sekitar, jantungku berdentum-dentum—siapa yang berani melakukan ini semua? Siapa yang berusaha membunuh Ned?
Namun seberapa kerasnya aku mencoba, aku tak bisa menemukan seorang pun yang tampak mencurigakan. Para murid gemetar ketakutan, wajah mereka pucat, begitu juga para guru dan juri—mereka kelihatan begitu depresi sehingga kupikir hidup mereka akan berakhir. Ned berada di sisiku, memegang jubahku sambil terengah-engah mengambil napas.
“Ap—apa yang—” gumamnya gemetar, “aku hampir saja—”
“Nggak apa-apa.” Aku berusaha menenangkan. “Ned, tenangkan dirimu.”
“Aku tenang!” pekiknya, tapi tubuhnya gemetar begitu hebat. “Cuma kecelakaan biasa—bukan masalah—”
Aku baru ingin memberitahunya apa yang kulihat, tapi kugigit lidahku. Aku tak ingin Ned bertambah khawatir. Dia sudah sepucat mayat, giginya bergemelutuk, dan matanya berair, seolah-olah dia akan menangis. Kalau kuberitahu apa yang sebetulnya terjadi, apa yang akan dilakukannya? Ned tidak akan tidur dengan tenang. Tidak kalau dia Ned.
Siapa yang melakukan ini dan kenapa?
Kemudian, kulihat salah seorang juri berjalan ke arah kami. Dia berusia paling tidak lima puluhan, dan wajahnya menandakan dia ketakutan sekaligus marah.
“Kau!” jeritnya pada Ned. “Apa yang kaulakukan?”
Ned mendongak dari tangisnya. “Ap—apa?”
“Ini bukan kebetulan, Nak, aku tidak bodoh.” Suaranya bergetar oleh amarah. “Kecelakaan aneh mendadak terjadi begitu kau tiba di panggung. Menurutmu, apa artinya itu? Kecelakaan biasa? Ketidaksengajaan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan—kejadian aneh lainnya di kemarin hari? Ungkapkan rahasiamu! Apa yang kau lakukan? Apa yang menyebabkan—”
“Dia nggak melakukan apa-apa!” geramku. Aku tak mengerti kenapa orang ini begitu marah pada Ned, yang seharusnya menjadi korban di sini. “Kenapa dia melakukan itu padahal dia sendiri bisa mati?”
“Kau tidak mengerti, Bocah,” dia menggerutu. “Teman merahmu entah bagaimana menguasai sihir. Menurutmu itu pekerjaan kecil, hah? Murid-murid di sini berusaha setengah nati untuk menguasainya. Seorang pendatang melakukan itu dalam sekejap, menurutmu itu tidak mencurigakan? Kalau dia tidak menyebabkan itu, orang lain bisa, dan itu sangat gawat.”
Aku memandang pria itu dan Ned bergantian. “Maksudmu—”
“Sihirnya berbahaya,” sahut seorang juri lain di belakangnya, wajah merahnya melotot pada Ned, seolah-olah dialah sumber masalahnya. “Itu maksudnya.”
“Tapi bagaimana?” sahutku, tapi dia langsung menggerutu.
“Kami sudah berusaha menyingkirkan bocah itu,” cibir si pria paruh baya. “Kejadian ini tak akan terjadi seandainya si nenek tua bangka itu tidak—”
Dia tak melanjutkan perkataannya, dan dia melotot pada kami. “Pokoknya, jika ada kejadian aneh lain di sekitarnya, kami tak punya pilihan kecuali mengusirnya keluar. Jauh-jauh. Dan kalau perlu, itu termasuk mengusirnya dari Tria.”
Dia melangkah pergi dengan marah, meninggalkan Ned dan aku di antara lautan murid-murid yang histeris.
Jika Ned tidak menyebabkannya, artinya seseorang mencoba melukainya karena ... karena Ned menguasai sihirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate of the Five Realms: Valor of Erdeos
Fantasy[Buku pertama seri FOTFR] Tiga bulan setelah Tornado Brooklyn, New York masih dalam kekacauan. Orang-orang protes di tengah jalan, lalu lintas kacau, dan rumor-rumor aneh menyebar. Leon Redwine memilih untuk menjalani hidupnya senormal mungkin. Impi...