9 - (II)

120 32 3
                                    

KAMI MENDADAK berhenti. “Kita sudah sampai,” ucap ayahku, memutar persneling. Dia dan Vooir turun, sementara aku terduduk di kursi mobil seperti orang tolol. Selanjutnya, pintu van bergeser dan ayahku serta Vooir membantuku turun dari mobil menapaki rerumputan. Pintu menutup dan wajah pucat ibuku diselubungi kegelapan.

Saat berjalan, kakiku rasanya seperti terbuat dari egrang. Tapi aku tidak bisa mengeluh di tempat seperti ini. Kami memasuki pepohonan kelam yang seolah tanpa ujung. Kalau kau tidak melihat dengan baik, bisa saja kau mengira pohon-pohon itu berwarna biru. Burung-burung dan kelelawar berterbangan di cakrawala. Aku tidak pernah tahu kalau Central Park punya tempat seperti ini. Tentu, ada The Ramble, tapi aku tidak tahu ada hutan tak terawat dan sekelam ini di Central Park.

Vooir menyahut. “Di sana!

Dia menunjuk tempat di sebelah kanan kami-yang tampak seperti sebuah lingkaran. Pohon-pohon tumbuh dengan susunan lingkaran sempurna seukuran tujuh meter persegi. Kami memasuki lingkaran itu. Mungkin cuma imajinasiku, tapi ayahku kelihatan seperti menghayati sesuatu.

“Tempatnya di sini,” kata Vooir, menyentuh permukaan rumput. “Rogeid—eh, asistenku, akan segera datang. Dia membawa semua barang-barang yang diperlukan untuk menempuh perjalanan lewat Lubang Exatra.”

“Dia yang akan melakukannya?” tanya ayahku. Entah kenapa dia kelihatannya tak asing soal hal ini.

Vooir mengangguk. “Ya. Aku tak bisa masuk tanpa izin Kekaisaran. Hukum Dasar Pengawalan Militer.”

Aku ingin mengatakan sesuatu, khususnya soal apa yang bakal kami lakukan di sini, tapi ayahku lebih dulu bicara. “Sebelum itu ....” Dia merogoh sesuatu dari saku jaketnya. Benda hitam itu berkilat dalam gelapnya malam. Aku baru menyadari itu pistol saat Ayah mengangkatnya tinggi-tinggi di udara.

“Apa yang akan Ayah lakukan dengan ... barang itu?” tanyaku. Aku baru teringat soal ke mananya pistol itu.

“Sebuah tes, kalau mau disebut begitu,” kata ayahku. Bibirnya gemetar. “Aku hanya ingin tahu, Leon. Apakah kau menggunakan benda ini atau tidak.”

Aku ingin membantah, tapi ayahku sudah mengokang pistol itu duluan. Dia menekan pelatuknya dan ....

DOR! Peluru meletus keras-keras di udara.

Logam itu melesat ke tanah. Ayahku tersenyum. “Kau hebat, Putraku. Kau tak menggunakannya. Aku mengisinya dengan satu peluru-hanya untuk hal ini.” Dia menatap sedih pistol kosong di tangannya. “Benda ini ... dirancang hanya untuk membunuh,” ucapnya lemah.

“Ayah ....” ucapku, berusaha menghiburnya. “Terima kasih.”

Ayahku tersenyum. “Seharusnya aku yang bilang begitu. Kau hebat, Nak. Kau memang putraku,” katanya bangga. Dia berbalik menghadap Vooir. “Apa Leon harus segera pergi? Aku tahu kalian dari Aldeoirgh-kalian bisa dipercaya. Aku hanya tidak ingin putraku ... yah ....”

“Tenang saja, Tuan Redwine,” kata Vooir, suaranya profesional. Aku merasa dia sering menangani hal semacam ini.
“Kami tahu ini tanggung jawab yang besar-apalagi untuk anak seusianya. Leon Redwine akan baik-baik saja selama dalam pengawasan kami. Aku berjanji akan membimbingnya mengemban tugas ini. Araez Exatra telah memberinya kepercayaan untuk menopang bebannya.”

“Yah ... kau benar,” aku ayahku lemah. “Araez selalu memilih yang terbaik, bukan?”

Vooir mengangguk. “Kita hanya perlu percaya pada Redwine,” katanya, menatapku penuh damba.

Aku merasa gugup. Sekalipun Vooir telah menjelaskan banyak hal padaku, aku masih merasa tak pantas dipuji. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan dunia. Apakah Araez melakukan kesalahan memilihku? Tapi kurasa tak pantas bagiku untuk meragukan seorang dewa.

Fate of the Five Realms: Valor of ErdeosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang