|32.| Kejujuran atau Kebohongan?

178 38 4
                                    

Happy reading📖

Hari ini adalah jum'at sendu bagi Reina. Harinya hancur. Hatinya perlahan retak. Topengnya terkikis. Dalamnya perlahan membusuk dengan sendirinya. Tembok yang sudah ia bangun selama ini runtuh dalam sekejap. Harapannya menghilang saat itu juga.

Dalam derasnya hujan. Ia bertanya kepada tuhan, kenapa saat itu tidak nyawa dirinya yang tuhan ambil? Kenapa Binar yang harus pergi dan meninggalkannya? Kenapa semua orang selalu berasumsi dengan pikiran mereka? Kenapa semua orang selalu menyalahkannya? Itu bukan salahnya. Tapi takdir tuhan. Jika dirinya memberi tahu kejadian yang sebenarnya terjadi. Apakah alur cerita hidupnya akan berubah? Apakah kebahagiaan akan menghampiri dirinya?

Gadis itu terus terisak dibawah guyuran air hujan, membiarkan sang hujan menyamarkan jejak air matanya, membawanya mengalir membasahi bumi. Mengatakan kepada semesta, dirinya tengah tidak baik-baik saja.

Di isak tangisnya, seorang pemuda mendekat dan merengkuh tubuh yang mulai melemah. Memberi kehangatan yang telah lama sirna. Devan Arsennio. Lagi lagi pemuda itu yang akan datang merengkuhnya, menjadi bahu sandaran untuknya. "Jangan menangis. Nafas kamu akan sesak nantinya. Imunitas tubuh kamu sangatlah lemah, Na." Tangannya membelai lembut wajah Reina, menghapus air mata yang bercampur dengan air hujan. "Sekarang kita pulang ya."

Reina mendongak, ia menggelengkan kepalanya lemah. "Jangan kerumah." Suaranya begitu parau dan sedikit bergetar. "Aku mohon." Ia tak ingin pulang. Ia tak ingin ada masalah lain yang akan membuat hidupnya kembali merasa tertekan. 2 kejutan semesta dipagi ini sudah membuatnya begitu tak berdaya. Pertahanannya goyah dan runtuh.

"Oke, kamu nginep di rumah aku aja ya? Bunda pasti ngijinin. Nanti aku yang minta ijin sama Om Bram."

****

Devan termenung di balkon kamarnya. Memandang hamparan langit yang awannya telah mengabu, sepertinya ikut berkabung dengan kesedihan Reina.

Tangannya menggenggam benda persegi panjang. Berkali-kali pula dirinya melihat sebuah video yang berhasil ia rekam dalam ponsel itu. Ia melihatnya sekali lagi dan mendesah frustasi.

Ia menoleh kebelakang. Seorang gadis terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Ia menghela nafas kasar. Akankah dirinya harus memberitahu Reina yang sebenarnya? Tapi, jika dirinya memberitahu Reina, apakah baik untuk kesehatannya? Ia juga berpikir, hatinya pasti akan hancur ketika mengetahuinya.

Pemuda itu kembali menatap luasnya hamparan langit dengan rintik hujan yang masih turun. Ia berpikir, kenapa tuhan selalu memberi ujian yang begitu berat pada Reina. Dari sewaktu kecil, Reina selalu mendapat perlakuan berbeda dengan adiknya. Ayahnya begitu keras dalam mendidiknya, sangatlah ringan tangan. Disalahkan atas kejadian Binar, tapi dirinya yakin Reina ngga bersalah dalam kecelakaan itu. Ia yakin bahwa itu hanyalah takdir. Persahabatannya hancur. Dirinya juga telah mematahkan harapannya, menolak cintanya dan membuat Reina menjalin hubungan dengan Chiko, cowo brengsek yang berani mempermainkan Reina. Di khianati sahabatnya sendiri. Ia jadi bimbang, akankah memperlihatkan video itu? Ia takut psikis Reina akan terganggu nantinya.

****

Malam telah tiba. Reina mendudukkan dirinya, bersandar pada kepala ranjang. Bibirnya masih pucat. Matanya sedikit membengkak akibat terlalu lama menangis. Tubuhnya panas. Tatapannya kosong dan air matanya kembali mengalir secara perlahan. Tubuhnya kini benar-benar lemah.

'Ceklek!'

Devan masuk kedalam kamar dengan semangkuk sop ayam, nasi, dan juga air mineral. Pemuda itu juga tak menutup pintu kamarnya, membiarkannya terbuka begitu saja. Pemuda itu mendekat pada Reina, namun sepertinya gadis itu masih belum menyadari akan kehadiran Devan.

Pemuda itu menaruh makanannya di atas nakas, mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur. Ia menyentuh pundak Reina. Gadis itu menoleh, pemuda itu menyandarkan kepala Reina pada pundaknya. Tangannya perlahan menghapus air mata Reina. "Udah ya? Berhenti nangisnya. Nanti kalo nafasnya sesak lagi gimana?"

Gadis itu mendongak. "Dev, kenapa tuhan selalu memberi kejutan yang tak terduga padaku? Kenapa tuhan selalu memberi ujian yang begitu berat padaku? Apakah tuhan membenci diriku? Kenapa tuhan ngga mengambil nyawa aku aja, Dev? Kenapa harus nyawa Binar yang tuhan ambil?"

"Hustt.." Devan menghapus kembali air mata Reina, tangannya juga membelai lembut rambut Reina. "Tuhan sayang kamu, Na. Makanya dia kasih ujian ke kamu. Jangan pernah berpikir jika tuhan membenci kamu. Dia mengambil Binar dari kita karena perjalanan hidup Binar telah berakhir dan perjalanan hidup kamu masih sangatlah panjang, Na. Paham?" Reina mengangguk.

"Sekarang makan ya. Devan yang suapin." Pemuda itu mengambil makanan diatas nakasnya. Menyuapi Reina secara telaten. Pemuda itu juga memberikan obat pereda demam pada Reina untuk menurunkan panasnya.

Setelahnya pemuda itu menaruh makanannya di atas nakas. Devan menoleh pada Reina. "Na." Panggilnya. Reina menoleh dan menanti kata apa yang akan diucapkan oleh Devan. "Nana lebih suka kejujuran atau kebohongan?"

"Kejujuran sangatlah pahit dan kebohongan mampu memberikan hidup yang manis untuk, Nana. Memberikan secercah kebahagiaan dalam hidup. Dengan adanya kebohongan, Nana akan bisa hidup dengan ketidak pedulian. Seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidup, Nana. Beranggapan bahwa hidup Nana tidak akan ada masalah yang datang menghampiri."

Mendengar jawaban dari gadis itu membuat Devan mengurungkan niatnya untuk memperlihatkan video itu.

"Tapi, jika kebohongan itu terbongkar dan Nana mengetahui kebenaran itu dari orang lain, itu akan sangatlah menyakitkan. Jadi, Nana akan lebih menyukai kejujuran biarpun kebohongan bisa memberikan kebahagiaan pada Nana. Tapi itu hanya sesaat. Akan lebih baik sakit di awal daripada di akhir, karena di akhir sakit itu akan berkepanjangan dan penuh dengan rasa penyesalan."

Devan tersenyum. Ia mengelus lembut puncak kepala gadis itu. "Apakah Nana baik-baik aja."

Gadis itu menoleh dan tersenyum, menganggukkan kepalanya. "Hm, Nana baik-baik aja. Karena sekarang ada Devan disamping, Nana." Gadis itu memeluk Devan dari samping.

"Nana." Panggilnya. "Iya?" Jawab gadis itu masih memeluk pinggang Devan, kepalanya mendongak menatap wajah tampan Devan. Pemuda itu menunduk. "Devan, ada suatu rahasia yang harus Nana ketahui."

Reina mengurai pelukan itu. Gadis itu menatap Devan serius. "Apa?"

Devan memejamkan kedua bola matanya, menghembuskan nafas kasar dan merogoh saku celananya mengambil benda persegi panjang miliknya. Pemuda itu menyalakan ponselnya dan memberikan pada Reina. Reina menatap pemuda itu dan mengernyitkan dahinya merasa bingung. "Lihat aja. Nanti kamu bakal tau sendiri isi video itu, Na."

Video itu terputar. Reina memperhatikan video itu dengan saksama. Telinganya mencoba untuk mencerna setiap kata demi kata yang dibicarakan oleh kedua remaja di dalam video.

Pelupuk matanya kembali di genangi air mata. Tangannya bergetar hingga ponsel ditangannya terjatuh dalam pangkuannya. Hatinya mencelos, begitu sakit mengetahui kebenaran itu. Rasanya, seperti ada ribuan jarum yang menancap dalam hatinya.

"Dev." Pemuda itu menoleh. Tangannya memegang bahu Reina."Apakah ... kamu baik-baik aja, Na?" Gadis itu menggeleng. "Bohong kalo aku mengatakan sedang baik-baik aja, Dev."

"Dev, temenin aku untuk bertemu dengan mereka."

***

Sedikit spoiler untuk part selanjutnya.

"... gue lupa kalo manusia emang ngga pandai bersyukur makanya selalu mengeluh."

"Berhentilah lo jadi sutradara dalam hidup gue. Lo ngga tau apapun. Lo hanya sampah dengan segala omong kosong lo itu!"

See you next part. Semoga besok bisa update,-

Salam ka es, stnrmh

Baradam (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang