|11.| Pelanggan BK

305 44 1
                                    

Happy reading 📖

Ruangan BK, tempat dimana anak-anak bermasalah akan di panggil dan di beri hukuman serta mengisi buku AKPS -Angka Kredit Point Siswa-

Seperti Reina. Pagi ini ia sedang duduk bersandar di sofa ruang BK dengan sebelah kakinya yang ia tumpukan pada kaki sebelahnya. Pandangan matanya terus tertuju memperhatikan pada kuku-kuku panjangnya tanpa berkutek itu. Bahkan ia tak mempedulikan nasehat-nasehat dari guru BK dihadapan-nya itu.

"Kamu dengar yang saya ucapkan atau tidak Reina?!" Intrupsi Pak Rahmat selaku guru Ipa sekaligus guru kesiswaan.

Reina mendongakkan kepalanya menatap 4 guru yang berjejer di depan dan sebelahnya. Ada Bu Kristin, Pak Rahmat, Bu Yuli, dan juga Pak Yeyen. Sebenarnya guru BK Reina hanya Bu Kristin, tetapi selalu saja seperti ini jika ia dipanggil ke ruang BK. Sedangkan Bu Yuli, Pak Rahmat, dan juga Pak Yeyen selain mereka guru kesiswaan mereka juga mengampu mata pelajaran lain di kelas Reina. Reina memutar kedua bola matanya malas. Selepasnya ia kembali memperhatikan kuku-kukunya itu.

"Bukankah sudah saya peringatkan kepadamu Reina, seorang siswa ataupun siswi di sekolah ini dilarang berkuku panjang!" Ujar Pak Yeyen. Pak Yeyen ini selain menjadi guru kesiswaan beliau juga pengampu mata pelajaran seni budaya. Beliau memang selalu menggunakan intonasi yang rendah tetapi ia guru yang paling tegas yang akan langsung bertindak. Pak Yeyen berjalan menuju mejanya dan mengambil gunting kuku dalam laci meja kerjanya. Beliau menaruh gunting kuku itu di atas meja tepat di hadapan Reina. "Potong kuku-kuku kamu itu."

Reina melirik pada Pak Yeyen, kemudian ia menoleh pada gunting kuku di dihadapannya. Reina mengambil gunting kuku itu, bukan. Bukan. Reina bukan memotong kukunya seperti yang di perintahkan oleh Pak Yeyen. Tetapi, ia mengambil gunting kuku itu untuk meratakan kukunya yang agak terkelupas di ujung kukunya. Kemudian, Reina menaruh gunting kuku itu kembali ke atas meja dihadapannya.

Reina mendongak menatap 4 guru itu dengan sebelah alisnya yang terangkat. 4 guru itupun menghembuskan nafasnya kasar. Bu Kristin berjalan menuju meja kerjanya. Mengambil telepon sekolah dan menekan beberapa angka.

"Halo?"

"Halo Pak Miko. Maaf menganggu waktunya sebentar. Saya Ibu Kristin selaku guru kesiswaan Reina."

"Ah halo Bu Kristin. Bagaimana? Reina tidak membuat kesalahan lagi kan, bu?"

"Maaf pak sebelumnya. Bisakah bapak datang ke sekolah. Ini tentang kelakuan anak bapak."

"Baik bu. Sebentar lagi saya akan datang."

"Terima kasih pak. Saya tunggu kedatangannya."

"Tut tut tut.. "

Reina memutarkan kedua bola matanya malas. Beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruang BK.

"Mau kemana kamu?"

Reina menghentikkan langkah kakinya. Membalikkan tubuhnya menatap guru di hadapannya satu persatu. "Pulang."

"Duduk! Saya belum memerintahkan kamu untuk meninggalkan ruangan ini."

"Kamu ini gadis yang pandai Reina. Tetapi kenapa kelakuan kamu tidak bisa mencerminkan anak yang baik-baik?"

Reina menghembuskan nafasnya. Di tatapnya mata guru berkepala empat itu. "Bu, tidak setiap apa yang terlihat itu sesuai dengan apa yang ibu nilai"

"Dan tidak semua kebaikan harus terlihat dan diperlihatkan. Apakah saya harus terlihat baik dimata semua orang? Agar saya bisa menuai banyak pujian dari orang lain?"

"Dan apakah semua orang baik akan selalu baik, bu?"

****

"Sudah berapa kali saya ingatkan Reina! Mau sampai kapan kamu akan mempermalukan diri saya seperti ini hah?!" Ujar pria paruh baya ketika sampai di rumah megahnya. Dia adalah Miko Bramasta, ayah Reina. Pemilik perusahaan hotel Bramasta.

"Dan sudah berapa kali panggilan dari guru kesiswaan kamu memanggil saya dalam bulan ini untuk menemuinya di sekolah. Bahkan dalam satu minggu akan selalu ada beberapa panggilan darinya!"

Reina merotasikan kedua bola matanya dan menghembuskan nafas kasar. Pandangannya terus memperhatikan kuku-kukunya, seolah ia tak merasa ada seseorang yang berbicara dengannya saat ini.

'Brak!'

Pria itu menendang meja di hadapan Reina. Reina mendongak, ditatapnya netra coklat seperti miliknya. Pria itu merebut kunci motor Reina dan memasukkannya kedalam saku jasnya itu.

Reina bangkit berdiri. Tangan kanannya menengadah di hadapan ayahnya. "Kembalikan." Ujarnya penuh penekanan.

"Engga! Motor kamu akan saya sita selama sebulan kedepan, dan kalau perlu akan saya jual!"

"Jadi, perbaiki diri kamu. Ikuti aturan saya dan jangan permalukan saya lagi!" Pria itu membalikakn badannya dan melangkahkan kakinya.

Reina mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya. Menatap tajam pria itu dari belakang. "Oke, lihat aja nanti"

Pria itu menghentikkan langkah kakinya. Mendengarkan ucapan anak gadisnya tanpa membalikkan tubuhnya.

Reina berbalik badan. Menaiki tangga dan memasuki kamarnya. Bahkan ia menutup pintunya dengan begitu kasarnya hingga suara menggema di seluruh ruangan.

****

Disebuah kamar, terbaring seorang gadis cantik di atas tempat tidurnya. Gadis itu terdiam dengan pikirannya yang bercabang. Pandangannya ke atas menatap langit-langit kamarnya. Ia menghembuskan nafasnya gusar. Ia mengambil handphonenya dan menyalakan handphonnya. Banyak notif masuk dalam handphonenya. Reina membaca pesan singkat dari Katya.

Katya F.

Lo dimana?


Lo kesini ngga? Lagi rame nih.

Gadis itu melempar handphonenya ke atas tempat tidurnya tanpa membalas pesan dari Katya ataupun yang lainnya. Ia merubah posisinya menjadi duduk dengan kedua tangannya yang bertumpu di samping tubuhnya. Ia menoleh pada jendela balkon yang terbuka. Ia berjalan menuju balkon. Ia mendudukan dirinya di sofa balkon dan menatap hamparan langit tanpa gemerlip bintang, hanya ada bulan yang tak nampak seutuhnya.

Gadis itu merebahkan dirinya pada sofa dengan tangan kanannya yang ia jadikan bantal. Memejamkan matanya sambil menikmati hembusan angin malam yang dinginnya begitu menusuk kulit, sampai pada akhirnya ia merasa haus dan meninggalkan balkon.

Ia berjalan menuju nakas samping tempat tidurnya untuk mengambil air putih. Namun, ternyata air di atas nakas telah habis. Ia merasa haus, akan tetapi ia juga malas untuk keluar dari kamarnya. Ia tak ingin ada keributan untuk malam ini saja.

Soal surat-surat panggilan itu.. entah bagaimana bisa sudah berada di tangan ayahnya. Padahal semua suratnya sudah ia buang.

Gadis itu berjalan menuju meja belajarnya, tetapi sebelum menuju meja belajarnya ia berjalan menuju saklar untuk mematikan lampu kamarnya. Ia mendudukan dirinya dan memainkan lampu meja belajarnya itu dengan mematikan dan menyalakan lampu itu berulang kali. Ia menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangannya di atas meja dengan kamar gelap tanpa pencahayaan sedikitpun.

Ia menyalakan kembali lampu belajarnya. Wajahnya bertumpu pada lipatan tangannya. Ia menegakkan kembali tubuhnya. Membuka laci meja belajar dan mengambil frame yang berisi foto dirinya dengan keenam teman lamanya. Mengelus lembut foto itu dari balik kaca dan tersenyum. Tangannya mengambil sebuah kalung yang berbandul "RZ" kalung yang hanya dimiliki oleh 7 orang termasuk dirinya.

"Wah, bagus banget kalungnya."

"Iya, ada nama gue lagi KF."

"Ini kalung persahabatan kah?"

Seorang gadis menganggukkan kepalanya. "Ya itu adalah kalung pertemanan kita. Anggap aja seperti benda kenangan nantinya kalo kita berpisah ketika dewasa tiba."

Seorang pemuda merangkul gadis itu diikuti dengan kelima temannya dan tertawa bersama tanpa sebuah alasan.

****

Salam kak es, stnrmh

Baradam (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang