|8.| Jejak Hujan

419 57 77
                                    

Happy reading📖

Seperti hujan yang meninggalkan jejak. Dan seperti senja yang selalu meninggalkan kenangan manis.

Tapi, bukankah setiap kenangan tak akan selalu meninggalkan hal yang manis. Terkadang pula hidup harus menelan banyaknya rasa pahit agar merasakan hal yang manis di penghujung waktu?

Terkadang pula kamu harus di kucilkan dan di asingkan dari orang-orang terdekatmu. Dan saat itu pula dirimu akan mengetahui bahwasannya dirimulah yang akan selalu menjadi teman sejatimu. Kamu hanya memerlukan sedikit waktu sendiri, agar kamu bisa menghargai dirimu sendiri.

****

Aku berjalan seorang diri menyusuri trotoar menuju rumah. Senja mulai memancarkan cahayanya yang begitu indah dengan awan yang mulai mengabu. Ah pasti sebentar lagi hujan akan turun.

'Tes'

Satu air turun menyentuh kulitku, lalu di susul dengan yang lainnya. Aku mengedarkan penglihatanku ke sekeliling trotoar ini, berharap ada tempat untukku berteduh. Aku memilih berteduh di depan ruko toko yang sudah tutup. Menatap hujan yang mulai bertambah deras. Sayup-sayup anginnya membuatku dingin, dan kulihat pohon-pohon di tepi jalan mulai menari-nari.

Aku menoleh ke samping kananku ketika merasa ada seseorang berdiri di sampingku. Aku mendongak dan membulatkan kedua bola mataku.

Dia menatapku. "Gimana? Merasa sedikit lega?" Tanyanya.

Aku menganggukkan kepalaku.

"Ini tas kamu, berat." Ia mengulurkan ranselku yang ia sampirkan di lengan kirinya.

Aku menerimanya. "Terima kasih."

"Mobil kamu mana?" Tanyaku ketika aku menyadari dia tak membawa kendaraanya.

"Di bawa guntur."

Aku menoleh padanya dan menyipitkan mataku. "Jangan bilang ... kamu ngikutin aku lagi ya?"

"Kamu tau itu, Na."

Aku merotasikan kedua bola mataku malas. "Kebiasaan. Aku ini udah bukan anak kecil lagi, Dev."

Ya pemuda itu adalah Devan. Dia mengacak puncak kepalaku. "Tapi bagi aku, kamu tetep Nana kecilku." Kemudian dia beralih menangkup pipiku dan mencubitnya.

Aku menepuk-nepuk tangannya agar segera melepaskan cubitannya pada pipiku. "Ish tau ah." Aku mengerucutkan bibirku.

Aku menatap air hujan yang masih turun. Aku jadi berpikir seperti apa enaknya bermain hujan. Mungkin tak masalah jika sekarang aku bermain hujan, toh aku bukan anak kecil lagi yang harus menuruti ucapan orang dewasa untuk tak bermain hujan. Jujur saja aku belum pernah bermain hujan. Sewaktu aku kecil sering kali aku iri ketika melihat teman-temanku bermain hujan. Menari, berlari, dan tertawa. Waktu itu aku hanya bisa mengintip mereka dari balik jendela kamar, memandang sendu diriku yang tak bisa ikut merasakan bahagia di bawah guyuran air hujan seperti meraka.

Terkadang aku juga ingin memarahi ayah dan ibuku yang selalu melarang aku bermain hujan. Mereka selalu mengatakan itu tak baik untuk kesehatan diriku. Tapi dulu aku berpikir jika tak sehat kenapa anak-anak yang lain di perbolehkan oleh orang tuanya bermain hujan?

Aku menatap pada Devan yang sepertinya tak merasa dingin sedikitpun. Kedua tangannya berada di saku celana abu-abunya. Pandangan matanya lurus ke depan menatap air yang terus turun membasahi bumi.

Devan menatap padaku dan mengambil alih ranselku. Dia membuka isi tasku mencari sesuatu. Dia memberikan sweather berwarna army dari dalam tasku. Devan memang selalu tau apa yang aku butuhkan.

Aku memakainya kemudian, berlari menerobos hujan menjauhi Devan. Devan melototkan kedua bola matanya. Tangannya ia satukan di depan mulutnya dan berteriak. "Nana, kamu ngga boleh main hujan-hujanan!"

Aku menoleh padanya dan berpura-pura lupa akan hal itu. "Yah aku udah basah. Sayang kalo ngga di lanjutin main hujan-hujananya." Aku kembali berlari di bawah guyuran hujan. "Devan, ini sangat menyenangkan!" Teriakku padanya.

Devan masih berdiri di depan ruko toko itu. Dia hanya memperhatikan diriku. Tak lama kemudian, dia berlari mendekat padaku dan tersenyum. "Bandel ya, udah di bilangin juga jangan main hujan-hujanan." Dia berlari mengajarku.

Sontak aku menambah kecepatan lariku untuk menghindar dari kejaran Devan. Namun, baru sebentar aku berlari. Nafasku sudah tersenggal, dadaku begitu sesak. Angin berhembus semakin kencang bersama hujan yang semakin deras.

Tubuhku mulai gemetar tak kuat menahan rasa dingin, bibirku juga ikut bergetar. Kakiku terasa begitu kaku. Samar-samar aku melihat Devan berlari mendekat padaku dengan wajah paniknya. Dia mendekapku berharap sedikit memberi rasa hangat dalam tubuhku.

Suara motor yang di modif begitu keras. Devan menoleh ke belakang. Seseorang berhodie hitam mengendarainya dengan begitu cepat kearahnya. Devan harus segera cepat-cepat membawa Reina menepi ke pinggir jalan sebelum orang itu menabraknya.

'Hosh hosh hosh'

Nafas Devan naik turun dengan jantung yang berdegub sangat kencang. Syukurlah Reina selamat. Devan menatap pengendara itu yang menghentikkan motornya dan menatap kebelakang. Devan merasa seperti tak asing dengan orang itu. Ah ia mengingatnya. Bukankah ... orang itu yang mengintainya di jalan kenanga malam itu?

Devan menoleh pada Reina. "Na, kamu ngga papa?" Tanyanya.

Reina hanya diam dengan bibir pucat pasi. Tubuhnya masih bergetar. Pandangannya kosong.

"Panggil ambulance sekarang!"

Reina menatap ke depan dengan sendu. Tubuhnya terguncang atas kejadian yang baru saja menimpa dirinya dan juga sahabatnya. Rasa terkejut dalam dirinya masih belum menghilang. Tatapan matanya begitu kosong menatap ke depan dengan garis polisi yang melintang. Matanya sudah berkaca-kaca, namun sepertinya kristal bening itu masih belum mau meluncur.

Banyak orang berdatangan membentuk sebuah lingkaran besar. Polisi, ambulance, dan mobil pemadam kebakaran pun telah tiba. Semua orang semakin banyak yang berdatangan untuk menonton kejadian apa yang telah terjadi. Beberapa wartawan juga telah tiba di lokasi untuk mengambil informasi.

Beberapa orang datang mendekat pada Reina yang diikuti dengan pihak medis di belakangnya. "Ayo cepat kita bantu gadis itu terlebih dahulu!"

"Binar ... " ujarnya dengan suara pelan.

****

Salam manis dari kak es , stnrmh

Baradam (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang