Happy reading📖
"Nilai bukanlah sesuatu hal untuk dijadikan tolak ukur seseorang untuk di hargai. Tapi sopan santun dan bagaimana cara dia menghargai orang lain."
-Reina Zefanya
Akhir pekan segera tiba. Hari sabtu menjadi hari terakhir bersekolah di semester 1. Penerimaan raport jatuh pada hari ini. Menjadi hari senam jantung bagi seluruh pelajar SMA Merdeka.
Biarpun menjadi hari terakhir bersekolah di akhir tahun, semua siswa SMA merdeka masih diwajibkan berangkat ke sekolah untuk kegiatan bersih-bersih kelas. Sebelum acara penyerahan raport kepada wali siswa jam 10 pagi nanti dimulai.
Reina berangkat seorang diri dengan sweather army yang melekat di tubuhnya. Gadis itu berjalan dengan kepala tertunduk dengan kedua tangannya menggenggam erat tas gendongnya, sedikit menghilangkan rasa gugup dalam dirinya.
Sepanjang koridor gadis itu menggigit bibir bagian dalam. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan dengan mata terpejam. "Oke, ayo, Na. Lo harus kuat. Lo ngga boleh lemah. Lo harus bisa kalahin rasa takut lo itu. Tunjukin kepada mereka, kalo lo ngga salah. Jadi lo ngga perlu takut."
Kepala gadis itu kini terangkat tinggi-tinggi seperti biasanya. Langkahnya tegas, tak ada sedikitpun rasa takut dalam langkahnya. Tak ada alasan untuk dirinya merasa takut.
"Eh liat, deh. Dia ngga punya muka kali ya. Masih berani tunjukin muka ke kita."
"Ngga nyangka aja, Reina segitunya sama sahabatnya."
"Eh tau ngga. Katanya cowo yang dulu disukai sama almarhumah Binar itu di rebut sama Reina."
"Iyaa! Gue juga denger itu! Terus cowonya pindah di luar negeri semenjak almarhumah Binar meninggal."
Reina mendengarnya. Ia meliriknya, tangannya bertambah kuat memegang tali ranselnya. Matanya memejam, ia tak boleh menangis. Biarkan mereka menilai dirinya seperti apa. Mereka ngga tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan mereka juga ngga akan pernah tau apa yang sedang dirinya rasakan. Gadis itu kembali melanjutkan langkah kakinya kembali menuju kelasnya.
Di koridor 2, tepatnya di depan lapangan basket. Seorang siswi menyiramkannya seember air kotor bekas pel-pel an pada Reina. Reina hanya terdiam di tempat. Air matanya tak kuasa ia bendung dan mengalir membasahi pipinya.
"Sekarang, kita impas ya kak." Ujar gadis itu. Ia melangkah mendekat pada Reina. "Kaka masih inget aku kan? Gadis yang waktu itu pernah dipermalukan sama kaka di kantin dan menjadi tontonan banyak orang. Dan sekarang giliran kaka yang harus jadi bahan tontonan banyak orang."
Reina tetap diam. Rambutnya juga basah. Untunglah seragamnya tertutup sweather jadi tidak akan tembus terawang.
"Kaka ini menyendihkan banget ya. Kak Reina ini punya otak ngga si, kak? Sahabat kaka sendiri kok bisa sampe kaka bunuh tanpa berpikir terlebih dahulu."
"Udah gitu, kaka juga ngerebut cowonya. Ngga tau malu banget." Lanjutnya.
"Kak. Kaka ini punya muka ngga si kak? Kok kaka masih ada keberanian ya buat nujukin muka kaka di depan umum."
Gadis itu memberanikan diri menatap gadis itu -Kinara. "Saya tidak peduli tentang apa yang anda katakan tentang saya, seberapa buruk ataupun seberapa baik anda menilai saya. Saya rasa ini adalah hidup saya. Hanya saya yang tau, diri saya yang sebenarnya. Hanya saya yang tau, niat buruk dan niat baik saya."
****
Reina kini mendudukkan dirinya ditaman sekolah. Memilih tempat dibawah pohon mangga yang rindang. Bibirnya pucat pasi dan bergetar. Tubuhnya mulai menggigil, kedinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baradam (Completed)
Teen FictionPart akan dihapus pertanggal 13 Agustus 2022 untuk proses Revisi ulang! (Utamakan follow terlebih dahulu sebelum membaca^_^) PERINGATAN KERAS! MENGANDUNG BANYAK ADEGAN BAWANG! JANGAN MEMBACA KALAU TIDAK KUAT! SIAPKAN TISU DAN HATI YANG KUAT:) -Kamu...