|4.| Sudut Pandang

655 92 58
                                    

Happy reading📖

Sudut pandang setiap orang pastinya berbeda. Namun, tak sedikit pula yang memiliki pendapat yang sama.

Terkadang seseorang menilai orang hanya dengan satu sudut saja. Terkadang mereka lebih percaya dengan apa yang mereka dengar tanpa mereka melihatnya. Terkadang pula mereka lebih percaya dengan apa yang mereka lihat daripada mendengarkan sebuah penjelasan. Semudah itu mereka menilainya.

Mereka selalu berasumsi dengan pikiran mereka tentang orang lain, yang belum tentu kebenarannya. Kemudian, mereka menceritakannya kepada teman dekat mereka, sebagai bahan topik pembicaraan mereka.

Mereka hanya bisa menilai tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan banyak orang mengatakan, hanya satu kesalahan kecil dapat menghilangkan seribu kebaikan orang. Ya aku mempercayai itu. Karena seperti yang aku bilang. Manusia hanya menilai seseorang dengan satu sudut saja, bukan keseluruhannya. Jadi berhati-hatilah kamu dalam bertindak.

****

Makanan dan juga minuman yang sedari tadi aku pesan tak kunjung aku memakannya. Bahkan minumannya hanya aku aduk-aduk. Ada begitu banyak hal yang harus aku pikirkan.

"Na, di makanlah jangan cuma lo aduk aduk."

Aku menolehkan padanganku. "Iya."

Aku kini tengah berada di kantin bersama kelima kawanku. Siapa lagi jika bukan Lala, Raisya, Angel, Bianca, dan juga Jessica. Untuk Katya dia berbeda kelas dan Violla dia berbeda sekolah. Alhasil mereka berdua jarang bergabung. Dan ini bukanlah waktunya istirahat melainkan kami tengah bolos pelajaran.

"Eh girls kita kan udah lama nih ngga jalan bareng. Gimana kalo nanti kita nongkrong-nongkrong dulu?" Tawar Angel.

Semua pandangan mata menoleh pada Angel.

"Boleh, boleh, boleh banget malahan. Kebetulan banget make-up gue ada yang udah habis, biar sekalian gue beli make-up nya." Jawab Bianca dengan begitu antusiasnya.

Semuanya pun mengangguk menyetujui ucapan Angel terkecuali aku. Aku hanya diam memperhatikan mereka dan mendengarkan rencana mereka tanpa ikut bersuara.

Kini Semua memandang ke arahku. "Kalo lo gimana Rein?" Tanya Angel begitu pandangan mata kami bertemu. Mungkin karena aku hanya diam tak seperti biasanya. Ia jadinya bertanya padaku.

'Ciiit!'

Suara decitan kursi di geser menggema di seluruh kantin yang sepi. Suasana berubah menjadi akward, semuanya kini berubah menjadi canggung.

"Eum.. maaf nih girls bukannya gue ngga mau, tapi nanti gue udah ada acara. Jadi kalian aja ya, gue ngga ikutan dulu. Lain kali aja ya. Lain kali mungkin gue ikutan." Pandangan Angel, Lala, Bianca, Jessica, dan juga Raisya kini mengarah padaku seolah meminta penjelasan lebih.

"Lo kenapa si setiap di ajakin jalan selalu aja gamau!" sarkas Angel padaku. Sudah dapat aku tebak semuanya pasti akan merasa sebal padaku karena tidak pernah mau untuk di ajak jalan bersama.

"Kita juga udah lama ngga jalan bareng, masa lo masih ngga mau jalan sama kita? Kapan lo ada waktu buat main bareng sama kita Rein?!" Tambah Lala yang di angguki oleh semuanya terkecuali Raisya.

"Udah udah. Kok kalian malahan bertengkar si. Udahlah kalo Reina ngga mau ya udah ngga usah di paksa. Lagian dia kan juga tadi udah bilang udah ada acara. Mungkin next time ya kan Rein?"

Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Raisya membuat semua pandangan beralih kepada Raisya. Begitupun juga dengan aku. Padahal sudah berulang kali aku katakan padanya untuk tak usah membelaku jika sedang seperti ini. Yasudahlah terserah dia saja mau gimana. Aku sudah pusing dengan masalahku yang lain.

Aku melirik pada Raisya yang selalu di pojokkan oleh Angel, Lala, Bianca, dan juga Jessica ketika dia membelaku. Aku menarik nafas setelahnya menganggukkan kepalaku.

"Gue hari ini ijin. Gue duluan."

Aku meraih ranselku dan berjalan menuju gerbang kantin.

"Bu, biasa bukain gerbangnya."

Ibu kantin itu menoleh padaku dan menatapku "siap neng. Tapi seperti biasa ya."

Aku merogoh saku kemeja dan memberikan selembar uang berwarna merah.

Aku berjalan menyusuri jalan. Seragam sekolahku aku tutup dengan hoodie berwarna army. Warna kesukaanku.

Sebelum aku menuju tempat biasa. Aku akan pergi ke konter terlebih dahulu dan ke minimarket seberang jalan.

"Bang." Panggilku.

"Elo Rein. Bolos lagi?"

Aku hanya menganggukkan kepalaku.

"Kenapa? Tumben ke sini? Mau beli handphone lagi?"

Aku menggelengkan kepalaku dan membuka ranselku untuk mengambil handphoneku. "Kira-kira ini masih bisa di benerin ngga bang?"

Bang Andi menatapku. "Tumben lo mau ngebenerin handphone, biasanya lo lebih suka beli yang baru."

Aku menghembuskan nafas. "Jadi bisa ngga bang tuh hp di benerin?"

"Bentar gue cek dulu."

Aku mendudukkan diriku sambil menunggu bang Andi selesai mengecek ponselku.

"Rein, ini mah kalo di benerin bakalan mahal biaya nya. Lebih baik beli yang baru aja deh. Gue juga ngga yakin kalo ini ponsel bisa di benerin. Karena memang udah rusak parah."

Aku melihat isi dompetku. Apakah ini cukup untuk satu bulan ke depan? Di tambah lagi wanita itu benar-benar korupsi. Dia hanya mentransfer 300 ribu untuk satu bulan.

"Yaudah bang. Gue beli yang baru aja. Tapi yang harganya jangan terlalu mahal. Duit gue limit."

"Lo mah enak Rein. Ortu lo tajir melintir. Mau minta apa-apa juga tinggal bilang aja."

Aku tersenyum mendengarnya. Mereka akan selalu berasumsi, hidup sepertiku itu sangat menyenangkan. Nyatanya, itu semua hanyalah topeng untuk menjaga image keluarga.

"Gue pengen lihat handphonenya bang."

"Nih gue kasih rekomendasi. Bagus, harganya juga agak murah." Bang Andi mengeluarkan handphone itu dari dalam kotaknya. Dan memberitahu spek handphone itu.

"Yaudah bang gue ambil itu aja."

****

Cafe pelangi. Disinilah kami berada malam ini. Tak seperti malam malam biasanya yang kami habiskan di jalan kenanga.

"Ya ampun Rein. Lo ganti hp lagi?" Ujar Jessica ketika melihat handphone Reina di atas meja.

Bianca mengambil handphone itu. "Ah gila ini handphone inceran gue minggu lalu! Kenapa si selalu lo dulu yang dapetin."

"Maklumlah anak sultan. Mau beli apa apa tinggal bilang ke bokapnya. Kan duitnya banyak." ujarnya sambil menggeser minumannya.

Aku memejamkan mataku dan segera mengambil handphone ku kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket. Aku hanya diam tidak membalas satupun ucapan dari mereka.

****

Salam, stnrmh

Baradam (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang