|7.| Sederhana

468 69 106
                                    

Happy reading📖

Kebanyakan orang ingin mempunyai hidup yang serba mewah.

Kebanyakan orang juga beranggapan jika kamu berasal dari keluarga terpandang dan memiliki banyak uang, pasti hidupmu sangatlah bahagia.

Itu pemikiran mereka.

Tapi menurutku, hidup sederhana jauh lebih baik berkali-kali lipat daripada hidup yang serba mewah. Hidup dengan bergelimpang harta bukan berarti hidupmu akan bahagia. Bukan berarti pula hidupmu tidak ada masalah yang menghampiri dirimu.

***

Aku terus berlari menerobos banyak siswa-siswi yang berlalu lalang di kantin maupun koridor. Berlari menuju tembok samping sekolah untuk memanjat tembok dan bolos pelajaran.

Aku berlari menuju halte ketika melihat sebuah bus tengah berhenti di halte. Aku segera menaiki bus itu dan mendudukkan diriku di kursi pojok.

Handphone di saku kemejaku terus bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk. Aku mengambilnya dan melihat nama seseorang yang ingin aku hindari saat ini. Devan.

Tak lama kemudian, ponselku kembali bergetar. Kali ini bukan sebuah panggilan masuk tapi sebuah pesan yang di kirimkan Devan. Aku membaca pesan itu di pop up atas.

Devan
Na, kamu dimana?

Aku hanya membacanya tanpa berniat untuk membalasnya. Aku mematikan data selulernya dan menyalakan mode pesawat agar tak ada yang menggangguku. Aku mengambil earphone di saku rok yang kebetulan aku bawa. Menyambungkan dengan handphoneku dan menyalakan musik. Dengan punggung bersandar di kursi, menatap pemandangan luar dari balik jendela kaca membuatku sedikit merasa nyaman.

Aku turun di halte dekat gedung tua. Aku berjalan menyusuri gedung itu. Gedung yang selalu aku datangi bersama teman lamaku 2 tahun yang lalu. Aku memang masih sering datang berkunjung ke gedung tua ini tapi aku hanya datang seorang diri tanpa siapapun.

Aku berjalan perlahan menaiki tangga. Menyusuri setiap ruangan yang dulu sempat terukir sejuta kenangan di dalamnya. Aku menyentuh sebuah bingkai foto yang mana di dalamnya ada diriku bersama dengan keenam temanku.

"Aku sangat merindukan kalian."

Reina menaruh kembali bingkai itu pada tempatnya kemudian menutupnya dengan kain hitam. Segala benda di ruangan itu sengaja Reina menutupnya dengan kain hitam. Selain untuk menyembunyikannya, ia juga tak ingin semua memori itu di biarkan berdebu dan kotor.

Aku berjalan menaiki beberapa tangga untuk berada di atas rooftop. Tempat yang dulunya begitu hangat. Bercerita, tertawa, menangis, bersandar, ... ah rasanya ia jadi merindukan masa-masa itu. Masa dimana waktu tidak kejam. Dimana waktu tidak memaksa semuanya untuk berubah.

Reina menghentikkan langkah kakinya. Menatap seseorang di hadapannya. Pemuda itu duduk bersandar di pilar dengan kaki menjuntai ke bawah.

Pemuda itu menolehkan kepalanya kebelakang, kemudian kembali menghadap ke depan menatap luasnya kota dari atas. "Andai saja, kita masih sama. Dan andai saja lo ngga bersifat egois waktu itu. Mungkin sekarang kita masih bersama"

Pemuda itu bangkit berdiri dan berjalan mendekat pada Reina. "Ini semua salah lo!"

Reina hanya diam dan terus menatap pemuda itu. Matanya mulai berkaca kaca. Reina berjalan mundur secara perlahan dan segera membalikkan tubuhnya dan berjalan menuruni tangga untuk meninggalkan pemuda itu.

Baradam (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang